Semangat RI tak Padam di Pelosok
Sejak subuh tadi, Dika sibuk
memandangi sebuah kalender yang penuh dengan coretan tinta merah menyala.
Sambil memandangi kalender itu, sesekali dia mengangkat potongan koran lama
sambil mengembangkan senyumya. Tapi, seakan teringat sesuatu, segera ia
benamkan senyumannya seraya bergumam. “ Kenapa di Desa ku ini tak pernah ada
perayaan tujuh belasan? “ ya. Dika belum penah merasakan perayaan tanggal tujuh
belas Agustus seperti yang sering ia lihat di koran, dan majalah. Dika tinggal
di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Penduduk di desa itu jumlah nya tak
banyak. Sehingga, bila mengadakan ajang semacam itu, tentu hanya sedikit yang
berpartisipasi. Sedang desa tetangga terletak berkilo-kilo meter jauhnya dari
situ. Keadaan desa Dika sangat tertinggal. Listrik belum ada, sekolah hanya
sampai SD, pusat kesehatan tak ada, jadi kalau ingin memeriksakan kesehatan,
terpaksa warga harus bejalan puluhan kilometer ke desa sebelah.
Dika Sangat menginginkan
jika Kades di desanya mengadakan sebuah kegiatan untuk memeringati hari jadi
Indonesia. Ini sebabnya dari subuh tadi ia tak henti-henti memandangi kalender
yang sudah ia corat-coret sejak awal bulan Agustus alu. Kini telah memasuki
tanggal 10. Artinya kurang seminggu lagi. “ Yah kenapa desa kita tak pernah
mengadakan satupun kegiatan tujuh belasan? “ tanya Dika kepada ayahnya yang
tengah duduk di teras depan sambil menyeruput secangkir kopi hitam legam. “
Memang untuk apa nak?” Ayahnya bertanya balik. Tentu untuk memeriahkan HUT RI,
serta menghargai perjuangan pahlawan yah. “ teriak Dika menggebu-gebu. Meski
tak pernah sekolah, Dika selalu menyempatkan waktunya untuk membaca koran-koran
atau majalah-majalah yang ia beli dari loper koran berbaju biru tua dengan topi
bertuliskan ‘KOMPAS’ bertengger rapi dikepalanya. Memang hanya loper koran ini
satu-satunya pembawa berita, pembawa hiburan, penghubung dunia yang ada di Desa
ini. Loper koran ini lewat setiap pagi dengan mengendarai sebuah sepeda motor
tua yang berwarna biru juga. Serasi dengan seragamnya. Loper koran ini, menurut
Dika sangat berjasa. Dika mengetahui banyak hal dari loper koran tersebut. “
Nak, warga disini kurang memahami hal itu.” Jelas ayahnya. “ payah” sahut Dika
singkat, dan langsung masuk kembali ke kamarnya. Ayahnya memandang anak semata
wayangnya dengan iba. Sebenarnya, beliau tahu betul apa yang diinginkan
anaknya. Ia tahu bahwa rasa nasionalis yang tinggi itu baik.
“Apa mereka tak tahu kalau
hal semacam ini itu sangat mengasyikkan? Hih.” Dika menggerutu sambil berjalan
mondar-mandir dengan mimik muka kesal. Tapi, tiba-tiba ia berhenti, mengambil
selembar kertas dan pulpen, lalu menuliskan sesuatu disitu. Bagaikan mega yang
baru saja tertiup angin, wajah Dika yang tadinya menggerutu kini mulai
tersenyum kecil. Sambil memandangi kertas yang terlihatseperti surat itu, iya
tersenyum sendiri dan berseru, “ Semoga ini Berhasil!! “. Dika berlari keluar
kamarnya sambil membawa surat tadi dan potongan koran lusuh yang selalu ia
genggam. Dengan semangat, ia terus berlari sampai keluar rumah dan terus
berlari hingga berhenti di sebuah rumah yang nampaknya paling besar diantara
yang lain. Rumah ini juga terbuat dari batu bata dan di cat rapi. Di
halamannya, berkibar bendera merah putih dengan gagah. Sebelum memasuki halaman
rumah itu, Dika menyempatkan untuk hormat seraya menyanyikan lagu Indonesia
raya untuk menghormati sang saka merah putih. Mungkin hanya dia yang melakukan
hal ini setiap masuk ke dalam kantor kepala desa Makmur Maju. “
Assalamu’alaikum pak “ ucap Dika sambil mengetuk pintu. Setelah terdengar
jawaban, seseorang membukakan pintu. Orang itu menanyakan maksud kedatangan
Dika, dan langsung mempersilahkan Dika masuk. “ Assalamu’alaikum pak” Dika
mengulang salamnya ketika Pak kades muncul dari balik tirai. “ Wa’alaikum
salam.. ada apa nak Dika?” jawab Pak Kades. Dika langsung mengutarakan maksud
dan tujuannya datang kemari. Pak kades mengangguk-angguk mendengarkan opini
yang Dika sampaikan. “ ini pak. Saya membawa surat untuk bapak baca. Dalam
surat ini, ada macam-macam kegiatan yang bisa bapak pilih untuk diadakan dalam
pesta bangsa ini.” Ucap Dika meyakinkan. Pak Kades langsung membuka surat itu,
dan membacanya. “ Hem.. bagus juga ide kamu nak.. tapi, Desa tak punya Dana.”
tanggap pak kades yang masih membaca surat Dika tadi. wajah Dika menjadi lemas
tak ada senyum menghiasi wajahnya lagi. “ Pak. Saya rasa anak-anak yang sudah
cukup usia banyak. Dan masalah uang, biar saya yang cari pak.” Suara Dika
bergetar. Sejenak hening. Pak kades hanya terbelalak melihat tekad Dika yang
amat kuat ini. Mungkin beliau baru melihat satu anak di kampung ini yang
ternyata memiliki rasa cinta terhadap tanah air yang amat besar. Mungkin karena
ini juga, akhirnya Pak Kades menyetujui ide Dika untuk masalah dana, Dika yang
akan mengeluarkan. Tak hanya itu, Pak kades membebaskan Dika merancang kegiatan
ini sendiri. Seketika wajah Dika cemerlang lagi. bak mentari yang baru saja
muncul di awal hari. Ia mengucapkan ‘terimakasih’
berkali-kali sebelum pulang kerumah.
Dijalan pulang Dika terdiam
sambil sesekali membaca surat yang ia buat tadi. Dika Nampak bingung, sekaligus
gembira. Tentu saja ia senang telah mendapat izin untuk menyelenggarakan ajang
perayaan ulang tahun bangsanya untuk pertama kalinya. Namun, banyak hal yang
Dika masih harus fikirkan. Dia butuh banyak uang untuk membeli
properti-properti yang diperlukan. Artinya, dia harus bekerja untuk mwncari
uang. Padahal mana ada pekerjaan yang bisa dilakukan anak 11 tahun? Yang bisa
ia lakukan selama ini, tak lebih hanya mencangkul, memotong kayu, dan
mengumpulkan kayu bakar. Itupun, hasilnya tak seberapa. Uang yang bisa
dikumpulkan tiap harinya, paling banyak hanya 5000 rupiah saja. Dan tentu, Dika
selalu menyerahkan hasil kerjanya itu kepada ibunya untuk belanja sehari-hari.
Jadi, selama ini Dika tak pernah punya uang. Apa lagi tabungan. Sekarang, yang ada dikepala Dika adalah..
bagaimana cara mendapat pekerjaan yang lumayan menghasilkan agar cukup untuk
mengadakan kegiatan ini.
Dika berjalan melantur.
Pikirannya kemana-mana. Bahkan ia telah melewati rumahnya sejauh 500 meter.
Pikirannya kacau. Ia baru benar-benar sadar saat melewati sebuah warung sembako
satu-satunya di kampung ini. Mungkin ia sudah biasa melewati warung ini. Namun,
kali ini ada yang berbeda. Sebuah mobil pickup berhenti di depannya. Mobil ini Mungkin
pengirim stock. Pikir Dika. Awalnya, Dika mau melewati warung ini begitu saja.
Namun Bu Nani, pemilik warung menegurnya. “ Nak Dika! Sedang apa disitu? Di
suruh ibu belanja?” Dika tersenyum sebentar, kemudian menjawab. “ Tidak bu.
Saya sedang cari pekerjaan.” Dika menambahkan senyum diwajahnya. “ Lho.. memang
butuh untuk apa nak? Kalau pekerjaan.. mungkin ibu punya untukmu. “ tanya Bu
Nani lagi. Dika yang tertarik, langsung berlari ke dalam warung ibu Nani. “
Sungguh bu? Begini, Dika butuh pekerjaan untuk cari dana kegiatan tujuh belasan
bu.” Tutur Dika jujur. Sekilas, Bu Nani nampak bingung. Mungkin karena beliau
tak pernah mengetahui istilah tujuh belasan. Buru-buru, Dika menyodorkan sebuah
amplop dan potongan korannya. B Nani pun membacanya dengan sungguh-sungguh. “
wah bagus juga idemu nak.. baik. Ibu akan bantu kamu. “ tanggap Bu Nani sambil
mengangguk-angguk pelan.dengan antusiazme tinggi, Dika mendengarkan pekerjaan
apa yang akan ia kerjakan dari Bu Nani. Rupanya, Bu Nani hanya menyuruh Dika
mengambil stock sembako di desa sebelah denga mengendarai sepeda. Bu Nani juga
bilang, jasa pickup pengantar mahal sekali. Untuk menghemat pengeluaran, Dika
dipekerjakan sebagai kurir prngambil stock. Walau jauh, namun jika naik sepeda,
pasti akan menyenangkan. Teriak Dika saking gembiranya. Bu Nani tertawa melihat
tingkah Dika yang seperti anak Bayi baru bertemu ibunya. Bu Nani kemudian
menyuruh Dika pulang, dan mengatakan bahwa Dika bisa mulai kerja besok.
Wajahnya tak lagi murung,
kini ia kembsli tersenyum. Kini senyumannya sehangat lembayung sore itu. Dia
berjalan dengan gembira. Bahkan sesekali ia melompat berirama. Belum pernah ia
merasa segembira ini. Dika smpai dirumah sudah hampir maghrib. “ Dika.. kamu
sejak pagi belum makan kan? “ tegur Ibu yang sedang membereskan meja makan. “
nanti saja bu. Dika sedang bikin rancangan.” Jawab Dika singkat, sambil
melempar senyum lebar ke arah ibunya. Dika memilih untuk mandi terlebih dahulu,
kemudian langsung mengunci diri dikamar. Berpedoman majalah dan potongan korang
yang masing-masing berisi artikel perayaan hut RI, Dika mencoba mengonsep
acaranya tersebut. Ayah dan Ibu sama-sama bingung dengan sikap anak semata
wayangnya hari ini. Dari pagi, ia sudah pergi. Pulang maghrib. Namun, Ayah
akhirnya mengerti juga apa yang sedang terjadi pada Dika. Beliau mengintip
lewat lubang pada pintu kamar Dika yang cukup besar. Rupanya, beliau juga
berhasil menyimpulkan bahwa Dika telah mendapat izin dari Kades untuk
mengadakan acara perayaan.
Pagi nan cerah, segar, dan
ceria telah datang. Dika tak mau terlambat dihari pertamanya bekerja. Ia mandi
lebih awal, memakai baju terbaiknya, dan menggendong ransel tua milik ayahnya
yang kini menjadi miliknya. Setelah sarapan pagi Dika segera pamit kepada kedua
orang tuanya. “ yah.. bu. Dika mau berangkat kerja. Mulai hari ini, Dika kerja
di warung Bu Nani. Dika sedang cari uang untuk mengadakan acara tujuh belasan.”
Jelas Dika singkat namun lengkap. Walaupun awalnya ayah dan ibunya sedikit
kesal karena anaknya yang disuruh mendanai acara tersebut, namun mereka berdua
setuju dengan alasan Dika. Dika berkata, bahwa yang penting. Ada perayaan.
Semangat Dika memang tak pernah surut. Selalu berkobar-kobar membakar apa saja
yang menghalanginya. Dika sangat senang melihat kedua orangtuaya juga setuju
bahwa perayaan ini penting. Ia mengembangkan senyumnya sepanjang jalan.Ia
tersenyum terus sampai di sebuah rumah ber cat biru. Inilah warung sembako Bu
Nani. “ Assalamu’alaikum Bu..” Dika memberi salam sambil mengetuk pintu. “
Wa’alaikum salam.. eh sudah datang.. rajin sekali kamu nak. “ Bu Nani keluar
sambil menyunggingkan senyum bulan sabitnya. Biasanya, orang-orang memang
menjuluki Bu Nani sebagai Ibu senyum sabit. Ya lantaran senyumnya seperti bulan
sabit. Sangat indah. Bu Nani langsung mengeluarkan sebuah sepeda tua yang akrab
disebut ‘pit kebo’ dan memberikannya
kepada Dika. Setelah diberi arahan, toko mana saja yang akan ia datangi, Dika
mengucapkan terimakasih, dan langsung berangkat mengayuh sepeda ‘kebo’ tadi ke arah barat. Menuju Desa
sebelah. Baru kali ini, Dika keluar dari Desanya dan mengunjungi desa sebelah.
Berat sekali memang menempuh
20 km dengan sepeda onthel tua yang sudah karatan rantainya. Apalagi, kala itu
mentari melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sang dewa kehangatan ini,
memberikan lebih dari sekedar kehangatan. Melainkan ia beri bumi ini panas
terik yang sangat menyengat dikulit. Tak hanya Dika yang menderita, ban sepeda
pun memuai terlalu besar. Sedikit-sedikit, Dika harus rela berbagi bekal airnya
kepada Ban sepeda. Dika tak mau menuntun sepeda ini sampai ke tukang ban. Jadi
dia korbankan bekal minumnya untuk sesekali menyiram ban sepedanya. Haus,
kering, panas, gosong. Itu yang Dika rasakan saat ini. Jalanan sepi. Jarang
sekali ada yang mau mengunjungi desa Dika yang terpencil jauh dari peradaban. Setelah
menempuh waktu lumayan lama, Dika sampai juga di desa tetangga yang namanya,
Desa Maju Rame. Sesuai namanya, Desa ini jauh lebih maju, dan ramai
dibandingkan Desa Dika. Bahkan, Dika sejenak berhenti tercengang melihat
aktivitas warga setempat yang beragam.. “ wah aku harus ke toko pak Somad. Kata
bu Nani, tokonya dikiri jalan, dan ada tulisannya. Nah itu dia.” Gumam Dika
sambil menuju kesebuah toko diujung gang. Ia segera memarkirkan sepedanya, dan
membeli barang sesuai dengan yang ada di daftar. Semua barang yang dimingta Bu
Nani sudah lengkap, dan sekarang saatnya pulang.
Dika sengaja melewati jalan
memutar saat pulang. Ia ingin melihat suasana desa itu dengan seksama. Ia
sangat tertarik dengan desa tetangganya ini. Tak sengaja, Dika melewati sebuah
tanah lapang di desa ini. Suasananya amat meriah. Bernuansa merah putih
disana-sini.banyak bendera kecil-kecil digantung dijalanan, jalan-jalan dicat
putih, masing-masing rumah memiliki
tiang bendera yang seperti kantor kades didepan rumahnya, dan lampu-lampu jalan
yang tak kalah berwarna merah-putih. Di tanah lapang ini, Dika melihat banyak
anak-anak berkumpul disana. “ wah apa mereka.. sedang mengadakan lomba? Ini kan
baru tanggal sebelas.. kenapa? Sudah mulai lomba?” Dika tercengang kagum
melihat pemandangan ini. Maklum saja, dia belum pernah melihat kegiatan semacam
ini secara langsung. Lama sekali Dika menikmati tontonan ini. Ia hampir lupa
kalau harus kembali ke warung Bu Nani. Untung saja dia teringat. Dika langsung
menggowes sepedanya menuju Desa tempatnya tinggal.
Perjalanan pulang tak
seberat tadi. Langit sore yang teduh dipadu dengan angin sejuk membuat pipi
Dika terasa dingin. Namun, ini lebih baik daripada tadi siang. Fikir Dika. Benar
saja bahwa perjalanan pulang biasanya lebih cepat dari berangkatnya. Rasanya baru sebentar, tau-tau.. sudah sampai
di depan warung Bu Nani. Sampai di sana, Dika langsung memarkirkan sepeda bu
Nani di halaman, masuk membawa barang-barang, dan langsung menerima upah. Upah
yang didapat lumayan. Bisa ditabung. Kalau tiap hari dapat segini, seminggu
lagi.. pesta siap digelar.. Dika berlari pulang dengan gembira.
Hari demi hari berlalu..
tanggal demi tanggal berganti dengan cepat. Coretan di kalender Dika sudah
hampir menyentuh angka tujuh belas. Rupiah demi rupiah terkumpul. Sudah saatnya
untuk belanja! Dika bangun lebih awal pagi ini. Ia berangkat menuju warung bu
Nani, tapi bukan untuk bekerja. Melainkan untuk membeli properti lomba. Setelah
semua dirasa cukup, Dika berlari ke sebuah lapangan disamping rumah kades. Ia
segera memasang semua properti. Mulai dari alat-alat lomba, bendera-bendera
disekeliling lapangan, sampai memberi warna pada tepi lapangan dengan warna
putih. “ Nah.. sudah siap.” Ujar Dika puas sambil tersenyum lebar melihat hasil
usahanya. Namun tinggal dua hari lagi hari H nya. Sampai sekarang belum ada
yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba-lomba yang sudah disediakan. Dika
pun merasa kesulitan untuk menggugah semangat warga yang sudah mati.
Esok paginya masih sama.
Sepi, sunyi tak ada kabar yang mau mendaftar lomba. Namun sesuatu yang luar
biasa sepertinya baru terjadi pada tanggal 16 Agustus, pukul 07.30 pagi itu.
Ayah Dika yang tengah menikmati udara pagi sambil meminum kopi hitam biasanya.
Mata Ayah terbelalak heran melihat rombongan warga berbondong-bondong menuju
rumahnya. Rombongan warga itu masing-masing membawa koran. Namun tak seperti
rombongan yang marah. Ayah pun memberanikan untuk bertanya. “ Nak! “ teriak
ayah memanggil Dika. Tergagap, Dika berlari ke asal suara. Awalnya, ia mengira
para masa marah karena dekorasi lapangan kemerdekaan yang ia buat. Namun
ternyata, salah satu orang maju sambil membuka halaman depan koran yang
bertuliskan. “ SEMANGAT HUT RI TAK PADAM
DI PELOSOK “. Yang membuat Dika tercengang bukan judulnya, namun foto yang
dimuat dibawah judul itu. “ Masya Allah yah! Ini foto Dika kemarin. Siapa yang
mengambil nya ya yah?” sahut Dika sambil menengadah ke Ayahnya. Ayah hanya
mengangkat bahu sama-sama bingung. “ Saya Dika yang mengambil fotomu.” Suara
besar yang sudah tak asing di telinga Dika terdengar dari pojok halaman. Dika
langsung menghampirinya. Sosok yang selalu memberi ilmu, menjadi pembawa kabar,
pengenal dunia pada Dika. Sosok bertopi biru, berbaju biru, dan motor biru
serasi. Sosok Loper koran yang ternyata sangat memperhatikan Dika tiap harinya.
Kini, ia juga yang membuat Dika dan Desanya dimuat di halaman utama koran
nasional. “ Terimakasih Pak! “ teriak Dika sambil memeluk loper koran ini
dengan erat.
Setelah kejadian pagi itu,
pada siang hari sampai malam, ada saja yang mendaftar mengikuti lomba. Entah
mengapa mereka menjadi berubah. Percaya atau tidak? Koran tadi sangat berjasa.
Bagaimana tidak? Banyak stasiun TV yang ingin meliput kegiatan HUT RI disitu.
Rencana Dika sukses besar. Bahkan keadaan desanya semakin maju setelah kejadian
ini. Kini, tiap tahunnya, rutin diadakan perayaan HUT RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar