Sabtu, 11 Agustus 2012

cerpen terbaru :) get second rank :D hehe


Semangat RI tak Padam di Pelosok
Sejak subuh tadi, Dika sibuk memandangi sebuah kalender yang penuh dengan coretan tinta merah menyala. Sambil memandangi kalender itu, sesekali dia mengangkat potongan koran lama sambil mengembangkan senyumya. Tapi, seakan teringat sesuatu, segera ia benamkan senyumannya seraya bergumam. “ Kenapa di Desa ku ini tak pernah ada perayaan tujuh belasan? “ ya. Dika belum penah merasakan perayaan tanggal tujuh belas Agustus seperti yang sering ia lihat di koran, dan majalah. Dika tinggal di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Penduduk di desa itu jumlah nya tak banyak. Sehingga, bila mengadakan ajang semacam itu, tentu hanya sedikit yang berpartisipasi. Sedang desa tetangga terletak berkilo-kilo meter jauhnya dari situ. Keadaan desa Dika sangat tertinggal. Listrik belum ada, sekolah hanya sampai SD, pusat kesehatan tak ada, jadi kalau ingin memeriksakan kesehatan, terpaksa warga harus bejalan puluhan kilometer ke desa sebelah.
Dika Sangat menginginkan jika Kades di desanya mengadakan sebuah kegiatan untuk memeringati hari jadi Indonesia. Ini sebabnya dari subuh tadi ia tak henti-henti memandangi kalender yang sudah ia corat-coret sejak awal bulan Agustus alu. Kini telah memasuki tanggal 10. Artinya kurang seminggu lagi. “ Yah kenapa desa kita tak pernah mengadakan satupun kegiatan tujuh belasan? “ tanya Dika kepada ayahnya yang tengah duduk di teras depan sambil menyeruput secangkir kopi hitam legam. “ Memang untuk apa nak?” Ayahnya bertanya balik. Tentu untuk memeriahkan HUT RI, serta menghargai perjuangan pahlawan yah. “ teriak Dika menggebu-gebu. Meski tak pernah sekolah, Dika selalu menyempatkan waktunya untuk membaca koran-koran atau majalah-majalah yang ia beli dari loper koran berbaju biru tua dengan topi bertuliskan ‘KOMPAS’ bertengger rapi dikepalanya. Memang hanya loper koran ini satu-satunya pembawa berita, pembawa hiburan, penghubung dunia yang ada di Desa ini. Loper koran ini lewat setiap pagi dengan mengendarai sebuah sepeda motor tua yang berwarna biru juga. Serasi dengan seragamnya. Loper koran ini, menurut Dika sangat berjasa. Dika mengetahui banyak hal dari loper koran tersebut. “ Nak, warga disini kurang memahami hal itu.” Jelas ayahnya. “ payah” sahut Dika singkat, dan langsung masuk kembali ke kamarnya. Ayahnya memandang anak semata wayangnya dengan iba. Sebenarnya, beliau tahu betul apa yang diinginkan anaknya. Ia tahu bahwa rasa nasionalis yang tinggi itu baik.
“Apa mereka tak tahu kalau hal semacam ini itu sangat mengasyikkan? Hih.” Dika menggerutu sambil berjalan mondar-mandir dengan mimik muka kesal. Tapi, tiba-tiba ia berhenti, mengambil selembar kertas dan pulpen, lalu menuliskan sesuatu disitu. Bagaikan mega yang baru saja tertiup angin, wajah Dika yang tadinya menggerutu kini mulai tersenyum kecil. Sambil memandangi kertas yang terlihatseperti surat itu, iya tersenyum sendiri dan berseru, “ Semoga ini Berhasil!! “. Dika berlari keluar kamarnya sambil membawa surat tadi dan potongan koran lusuh yang selalu ia genggam. Dengan semangat, ia terus berlari sampai keluar rumah dan terus berlari hingga berhenti di sebuah rumah yang nampaknya paling besar diantara yang lain. Rumah ini juga terbuat dari batu bata dan di cat rapi. Di halamannya, berkibar bendera merah putih dengan gagah. Sebelum memasuki halaman rumah itu, Dika menyempatkan untuk hormat seraya menyanyikan lagu Indonesia raya untuk menghormati sang saka merah putih. Mungkin hanya dia yang melakukan hal ini setiap masuk ke dalam kantor kepala desa Makmur Maju. “ Assalamu’alaikum pak “ ucap Dika sambil mengetuk pintu. Setelah terdengar jawaban, seseorang membukakan pintu. Orang itu menanyakan maksud kedatangan Dika, dan langsung mempersilahkan Dika masuk. “ Assalamu’alaikum pak” Dika mengulang salamnya ketika Pak kades muncul dari balik tirai. “ Wa’alaikum salam.. ada apa nak Dika?” jawab Pak Kades. Dika langsung mengutarakan maksud dan tujuannya datang kemari. Pak kades mengangguk-angguk mendengarkan opini yang Dika sampaikan. “ ini pak. Saya membawa surat untuk bapak baca. Dalam surat ini, ada macam-macam kegiatan yang bisa bapak pilih untuk diadakan dalam pesta bangsa ini.” Ucap Dika meyakinkan. Pak Kades langsung membuka surat itu, dan membacanya. “ Hem.. bagus juga ide kamu nak.. tapi, Desa tak punya Dana.” tanggap pak kades yang masih membaca surat Dika tadi. wajah Dika menjadi lemas tak ada senyum menghiasi wajahnya lagi. “ Pak. Saya rasa anak-anak yang sudah cukup usia banyak. Dan masalah uang, biar saya yang cari pak.” Suara Dika bergetar. Sejenak hening. Pak kades hanya terbelalak melihat tekad Dika yang amat kuat ini. Mungkin beliau baru melihat satu anak di kampung ini yang ternyata memiliki rasa cinta terhadap tanah air yang amat besar. Mungkin karena ini juga, akhirnya Pak Kades menyetujui ide Dika untuk masalah dana, Dika yang akan mengeluarkan. Tak hanya itu, Pak kades membebaskan Dika merancang kegiatan ini sendiri. Seketika wajah Dika cemerlang lagi. bak mentari yang baru saja muncul di awal hari. Ia mengucapkan ‘terimakasih’ berkali-kali sebelum pulang kerumah.
Dijalan pulang Dika terdiam sambil sesekali membaca surat yang ia buat tadi. Dika Nampak bingung, sekaligus gembira. Tentu saja ia senang telah mendapat izin untuk menyelenggarakan ajang perayaan ulang tahun bangsanya untuk pertama kalinya. Namun, banyak hal yang Dika masih harus fikirkan. Dia butuh banyak uang untuk membeli properti-properti yang diperlukan. Artinya, dia harus bekerja untuk mwncari uang. Padahal mana ada pekerjaan yang bisa dilakukan anak 11 tahun? Yang bisa ia lakukan selama ini, tak lebih hanya mencangkul, memotong kayu, dan mengumpulkan kayu bakar. Itupun, hasilnya tak seberapa. Uang yang bisa dikumpulkan tiap harinya, paling banyak hanya 5000 rupiah saja. Dan tentu, Dika selalu menyerahkan hasil kerjanya itu kepada ibunya untuk belanja sehari-hari. Jadi, selama ini Dika tak pernah punya uang. Apa lagi tabungan.  Sekarang, yang ada dikepala Dika adalah.. bagaimana cara mendapat pekerjaan yang lumayan menghasilkan agar cukup untuk mengadakan kegiatan ini.
Dika berjalan melantur. Pikirannya kemana-mana. Bahkan ia telah melewati rumahnya sejauh 500 meter. Pikirannya kacau. Ia baru benar-benar sadar saat melewati sebuah warung sembako satu-satunya di kampung ini. Mungkin ia sudah biasa melewati warung ini. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sebuah mobil pickup berhenti di depannya. Mobil ini Mungkin pengirim stock. Pikir Dika. Awalnya, Dika mau melewati warung ini begitu saja. Namun Bu Nani, pemilik warung menegurnya. “ Nak Dika! Sedang apa disitu? Di suruh ibu belanja?” Dika tersenyum sebentar, kemudian menjawab. “ Tidak bu. Saya sedang cari pekerjaan.” Dika menambahkan senyum diwajahnya. “ Lho.. memang butuh untuk apa nak? Kalau pekerjaan.. mungkin ibu punya untukmu. “ tanya Bu Nani lagi. Dika yang tertarik, langsung berlari ke dalam warung ibu Nani. “ Sungguh bu? Begini, Dika butuh pekerjaan untuk cari dana kegiatan tujuh belasan bu.” Tutur Dika jujur. Sekilas, Bu Nani nampak bingung. Mungkin karena beliau tak pernah mengetahui istilah tujuh belasan. Buru-buru, Dika menyodorkan sebuah amplop dan potongan korannya. B Nani pun membacanya dengan sungguh-sungguh. “ wah bagus juga idemu nak.. baik. Ibu akan bantu kamu. “ tanggap Bu Nani sambil mengangguk-angguk pelan.dengan antusiazme tinggi, Dika mendengarkan pekerjaan apa yang akan ia kerjakan dari Bu Nani. Rupanya, Bu Nani hanya menyuruh Dika mengambil stock sembako di desa sebelah denga mengendarai sepeda. Bu Nani juga bilang, jasa pickup pengantar mahal sekali. Untuk menghemat pengeluaran, Dika dipekerjakan sebagai kurir prngambil stock. Walau jauh, namun jika naik sepeda, pasti akan menyenangkan. Teriak Dika saking gembiranya. Bu Nani tertawa melihat tingkah Dika yang seperti anak Bayi baru bertemu ibunya. Bu Nani kemudian menyuruh Dika pulang, dan mengatakan bahwa Dika bisa mulai kerja besok.
Wajahnya tak lagi murung, kini ia kembsli tersenyum. Kini senyumannya sehangat lembayung sore itu. Dia berjalan dengan gembira. Bahkan sesekali ia melompat berirama. Belum pernah ia merasa segembira ini. Dika smpai dirumah sudah hampir maghrib. “ Dika.. kamu sejak pagi belum makan kan? “ tegur Ibu yang sedang membereskan meja makan. “ nanti saja bu. Dika sedang bikin rancangan.” Jawab Dika singkat, sambil melempar senyum lebar ke arah ibunya. Dika memilih untuk mandi terlebih dahulu, kemudian langsung mengunci diri dikamar. Berpedoman majalah dan potongan korang yang masing-masing berisi artikel perayaan hut RI, Dika mencoba mengonsep acaranya tersebut. Ayah dan Ibu sama-sama bingung dengan sikap anak semata wayangnya hari ini. Dari pagi, ia sudah pergi. Pulang maghrib. Namun, Ayah akhirnya mengerti juga apa yang sedang terjadi pada Dika. Beliau mengintip lewat lubang pada pintu kamar Dika yang cukup besar. Rupanya, beliau juga berhasil menyimpulkan bahwa Dika telah mendapat izin dari Kades untuk mengadakan acara perayaan.
Pagi nan cerah, segar, dan ceria telah datang. Dika tak mau terlambat dihari pertamanya bekerja. Ia mandi lebih awal, memakai baju terbaiknya, dan menggendong ransel tua milik ayahnya yang kini menjadi miliknya. Setelah sarapan pagi Dika segera pamit kepada kedua orang tuanya. “ yah.. bu. Dika mau berangkat kerja. Mulai hari ini, Dika kerja di warung Bu Nani. Dika sedang cari uang untuk mengadakan acara tujuh belasan.” Jelas Dika singkat namun lengkap. Walaupun awalnya ayah dan ibunya sedikit kesal karena anaknya yang disuruh mendanai acara tersebut, namun mereka berdua setuju dengan alasan Dika. Dika berkata, bahwa yang penting. Ada perayaan. Semangat Dika memang tak pernah surut. Selalu berkobar-kobar membakar apa saja yang menghalanginya. Dika sangat senang melihat kedua orangtuaya juga setuju bahwa perayaan ini penting. Ia mengembangkan senyumnya sepanjang jalan.Ia tersenyum terus sampai di sebuah rumah ber cat biru. Inilah warung sembako Bu Nani. “ Assalamu’alaikum Bu..” Dika memberi salam sambil mengetuk pintu. “ Wa’alaikum salam.. eh sudah datang.. rajin sekali kamu nak. “ Bu Nani keluar sambil menyunggingkan senyum bulan sabitnya. Biasanya, orang-orang memang menjuluki Bu Nani sebagai Ibu senyum sabit. Ya lantaran senyumnya seperti bulan sabit. Sangat indah. Bu Nani langsung mengeluarkan sebuah sepeda tua yang akrab disebut ‘pit kebo’ dan memberikannya kepada Dika. Setelah diberi arahan, toko mana saja yang akan ia datangi, Dika mengucapkan terimakasih, dan langsung berangkat mengayuh sepeda ‘kebo’ tadi ke arah barat. Menuju Desa sebelah. Baru kali ini, Dika keluar dari Desanya dan mengunjungi desa sebelah.
Berat sekali memang menempuh 20 km dengan sepeda onthel tua yang sudah karatan rantainya. Apalagi, kala itu mentari melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sang dewa kehangatan ini, memberikan lebih dari sekedar kehangatan. Melainkan ia beri bumi ini panas terik yang sangat menyengat dikulit. Tak hanya Dika yang menderita, ban sepeda pun memuai terlalu besar. Sedikit-sedikit, Dika harus rela berbagi bekal airnya kepada Ban sepeda. Dika tak mau menuntun sepeda ini sampai ke tukang ban. Jadi dia korbankan bekal minumnya untuk sesekali menyiram ban sepedanya. Haus, kering, panas, gosong. Itu yang Dika rasakan saat ini. Jalanan sepi. Jarang sekali ada yang mau mengunjungi desa Dika yang terpencil jauh dari peradaban. Setelah menempuh waktu lumayan lama, Dika sampai juga di desa tetangga yang namanya, Desa Maju Rame. Sesuai namanya, Desa ini jauh lebih maju, dan ramai dibandingkan Desa Dika. Bahkan, Dika sejenak berhenti tercengang melihat aktivitas warga setempat yang beragam.. “ wah aku harus ke toko pak Somad. Kata bu Nani, tokonya dikiri jalan, dan ada tulisannya. Nah itu dia.” Gumam Dika sambil menuju kesebuah toko diujung gang. Ia segera memarkirkan sepedanya, dan membeli barang sesuai dengan yang ada di daftar. Semua barang yang dimingta Bu Nani sudah lengkap, dan sekarang saatnya pulang.
Dika sengaja melewati jalan memutar saat pulang. Ia ingin melihat suasana desa itu dengan seksama. Ia sangat tertarik dengan desa tetangganya ini. Tak sengaja, Dika melewati sebuah tanah lapang di desa ini. Suasananya amat meriah. Bernuansa merah putih disana-sini.banyak bendera kecil-kecil digantung dijalanan, jalan-jalan dicat putih,  masing-masing rumah memiliki tiang bendera yang seperti kantor kades didepan rumahnya, dan lampu-lampu jalan yang tak kalah berwarna merah-putih. Di tanah lapang ini, Dika melihat banyak anak-anak berkumpul disana. “ wah apa mereka.. sedang mengadakan lomba? Ini kan baru tanggal sebelas.. kenapa? Sudah mulai lomba?” Dika tercengang kagum melihat pemandangan ini. Maklum saja, dia belum pernah melihat kegiatan semacam ini secara langsung. Lama sekali Dika menikmati tontonan ini. Ia hampir lupa kalau harus kembali ke warung Bu Nani. Untung saja dia teringat. Dika langsung menggowes sepedanya menuju Desa tempatnya tinggal.
Perjalanan pulang tak seberat tadi. Langit sore yang teduh dipadu dengan angin sejuk membuat pipi Dika terasa dingin. Namun, ini lebih baik daripada tadi siang. Fikir Dika. Benar saja bahwa perjalanan pulang biasanya lebih cepat dari berangkatnya.  Rasanya baru sebentar, tau-tau.. sudah sampai di depan warung Bu Nani. Sampai di sana, Dika langsung memarkirkan sepeda bu Nani di halaman, masuk membawa barang-barang, dan langsung menerima upah. Upah yang didapat lumayan. Bisa ditabung. Kalau tiap hari dapat segini, seminggu lagi.. pesta siap digelar.. Dika berlari pulang dengan gembira.
Hari demi hari berlalu.. tanggal demi tanggal berganti dengan cepat. Coretan di kalender Dika sudah hampir menyentuh angka tujuh belas. Rupiah demi rupiah terkumpul. Sudah saatnya untuk belanja! Dika bangun lebih awal pagi ini. Ia berangkat menuju warung bu Nani, tapi bukan untuk bekerja. Melainkan untuk membeli properti lomba. Setelah semua dirasa cukup, Dika berlari ke sebuah lapangan disamping rumah kades. Ia segera memasang semua properti. Mulai dari alat-alat lomba, bendera-bendera disekeliling lapangan, sampai memberi warna pada tepi lapangan dengan warna putih. “ Nah.. sudah siap.” Ujar Dika puas sambil tersenyum lebar melihat hasil usahanya. Namun tinggal dua hari lagi hari H nya. Sampai sekarang belum ada yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba-lomba yang sudah disediakan. Dika pun merasa kesulitan untuk menggugah semangat warga yang sudah mati.
Esok paginya masih sama. Sepi, sunyi tak ada kabar yang mau mendaftar lomba. Namun sesuatu yang luar biasa sepertinya baru terjadi pada tanggal 16 Agustus, pukul 07.30 pagi itu. Ayah Dika yang tengah menikmati udara pagi sambil meminum kopi hitam biasanya. Mata Ayah terbelalak heran melihat rombongan warga berbondong-bondong menuju rumahnya. Rombongan warga itu masing-masing membawa koran. Namun tak seperti rombongan yang marah. Ayah pun memberanikan untuk bertanya. “ Nak! “ teriak ayah memanggil Dika. Tergagap, Dika berlari ke asal suara. Awalnya, ia mengira para masa marah karena dekorasi lapangan kemerdekaan yang ia buat. Namun ternyata, salah satu orang maju sambil membuka halaman depan koran yang bertuliskan. “ SEMANGAT HUT RI TAK PADAM DI PELOSOK “. Yang membuat Dika tercengang bukan judulnya, namun foto yang dimuat dibawah judul itu. “ Masya Allah yah! Ini foto Dika kemarin. Siapa yang mengambil nya ya yah?” sahut Dika sambil menengadah ke Ayahnya. Ayah hanya mengangkat bahu sama-sama bingung. “ Saya Dika yang mengambil fotomu.” Suara besar yang sudah tak asing di telinga Dika terdengar dari pojok halaman. Dika langsung menghampirinya. Sosok yang selalu memberi ilmu, menjadi pembawa kabar, pengenal dunia pada Dika. Sosok bertopi biru, berbaju biru, dan motor biru serasi. Sosok Loper koran yang ternyata sangat memperhatikan Dika tiap harinya. Kini, ia juga yang membuat Dika dan Desanya dimuat di halaman utama koran nasional. “ Terimakasih Pak! “ teriak Dika sambil memeluk loper koran ini dengan erat.
Setelah kejadian pagi itu, pada siang hari sampai malam, ada saja yang mendaftar mengikuti lomba. Entah mengapa mereka menjadi berubah. Percaya atau tidak? Koran tadi sangat berjasa. Bagaimana tidak? Banyak stasiun TV yang ingin meliput kegiatan HUT RI disitu. Rencana Dika sukses besar. Bahkan keadaan desanya semakin maju setelah kejadian ini. Kini, tiap tahunnya, rutin diadakan perayaan HUT RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar