Culik di
Rumah Nenek
Waktu terasa cepat berlalu. Rasanya baru kemarin kami masuk sekolah dihari
pertama. Tapi nyatanya, sekarang saat-saat yang selalu kami nantikan telah
berada di depan mata. “ Yey! Akhirnya.. besok udah mulai libur. Bebas dari
pelajaran, tugas, dan bisa tidur sepanjang hari..! “ Teriak Hana yang berjalan
disampingku sambil berjingkat-jingkat riang. Aku mengangguk setuju, dan
mengikuti gerakannya sampai di gerbang depan sekolah kami. Aku juga sangat
senang menyambut datangnya masa liburan akhir semester. yang menurutku lumayan
panjang. Kami berdua bagaikan narapidana yang baru saja berhasil kabur dari 500
lapis tembok kepungan para polisi. “ Hey!” panggil seseorang yang sudah berdiri
didepan gerbang menunggu aku dan Hana. Matanya yang bulat, besar, dan berbulu
mata lentik, menyilaukan pandanganku. Matanya memang hebat. Aku rasa.. mata itu
mampu memantulkan sinar matahari yang paling terik sekalipun. Bahkan, mungkin
bisa menggantikan peran bulan diwaktu malam. Pikirku. Namun, mata bulat kawanku
yang satu ini, juga telah menjadi cirikhas darinya. Begitu silau, aku dan Hana
langsung bisa tahu bahwa yang mencegat kami
adalah Bibah. Setelah aku sedikit mendekat, terlihat Bibah berdiri dengan
tangan mengayun-ayun mengikuti gerakan kakinya yang naik turun teratur dengan
semangat. Kepalanya digerakkan patah-patah ke kanan dan ke kiri seirama dengan
kaki dan tangannya. Bibirnya juga ikut menari kesana kemari. Bibah ini adalah
kawanku yang paling periang, lincah, dan gokil abis. Dia juga selalu punya ide
untuk mengisi liburan. “ kali ini kita mau ngapain? “ tanyaku tak sabar
mendengar ide Bibah yang selalu mengalir deras bak air terjun Niagara. “ Aku
juga masih berpikir nih. “ jawabnya singkat. Namun, rangkaian gerakan kaki,
tangan, kepala, dan bibirnya tadi masih tetap ia lakukan dengan semangat.
Sejenak, suasana hening. Ada seseorang lagi yang memanggil dari seberang
jalan sambil melambai-lambaikan tangannya. Walau kurang jelas terlihat, namun
sepertinya orang itu tidak asing. Melihat benda bulat berwarna-warni yang ia
pegang ditangan kananya, kami bertiga langsung mengenalinya. Ya. Dia teman
dekatu juga. Namanya Dipta. Kemana-mana ia selalu membawa setangkai besar
lolipop fullcolor yang sepertinya membuat giginya sakit tiap bulannya. Namun
sepertinya Dipta ini tak pernah kapok untuk makan lolipop itu tiap hari. Dipta
melambaikan tangannya lagi seakan berkata ‘Sini!’. Aku, Hana, dan Bibah
mengangguk dan segera berjalan ke seberang. “ Hey tunggu aku dong! “ teriak
suara yang sekali lagi tak asing ditelingaku dari belakang. Aku segera
menengok, dan benar saja. Ternyata yang berteriak itu Dila. Otomatis, langkah
kami bertiga terhenti. Kami bertiga dengan kompak menyajikan senyum dan
anggukan kepala kepada Dila, dan langsung menarik lengannya untuk ikut
menyebrang.
“ Denger deh. aku ada ide buat liburan kali ini. “ seru Dipta langsung
ketika aku dan ketiga temanku sampai di tempatnya. “ Apa? “ tanya Bibah. Dipta
berencana mengajak kami berempat untuk berlibur ke rumah Nenek nya di Solo.
Katanya untuk masalah transport kesana, kita nanti diantar sampai stasiun tugu
Jogja, dan laangsung naik kereta ke Solo. Rumah Neneknya Dipta tak jauh dari
setasiun kereta. Sebelumnya, aku pernah ikut Dipta ke rumah Neneknya ini. “
disana kita ngapain aja?“ tanya Hana yang nampak kurang senang dengan ide Dipta
ini. “ Kita bisa jalan-jalan ke kota Solo, ke sungai Bengawan Solo, ke Pasar
Klewer, Outbond di Sungai, dan masih banyak lagi. jawab Dipta bersemangat. “
Wah seru tuh. Aku setuju sama ide mu. Nah siapa yang setuju? “ Bibah mencoba
menghitung vote antara setuju dan tidak setuju ini. Dan hasilnya, ternyata kami
ber 5 mengangkat tangan kami masing-masing. Artinya, tak ada yang tidak setuju,
dan akhirnya diputuskan. Liburan kali ini, kami akan berangkat ke Solo. Kami
telah memutuskan untuk berangkat pada hari Senin minggu ke dua liburan.
Cerah sekali hari ini. Rasanya alam pun megerti bahwa hari ini perasaan ku
sedang senang bukan kepalang. Hari ini, Hari Senin minggu ke dua. Ya. Jadwal
kami untuk berangkat ke Solo. Ke rumah Neneknya Dipta. Rencananya, pagi ini
kami ber 5 akan berangkat dari rumah Dipta yang tak jauh dari sekolah. Dan
nanti, dari sana kami akan diantar oleh Papa nya Dipta sampai stasiun. Tak
sabar aku membayangkan betapa asyiknya naik kereta api. Memang sebelum ini, aku
belum pernah naik kereta. Rrr.. rrr.. rrr.. telefon genggam ku bergetar.
Ternyata ada pesan dari Dipta. Ia bilang, pukul sembilan tepat. Kami semua
harus sudah berkumpul disana. Membaca pesan ini, aku langsung melirik arlojiku.
“ Wah udah jam setengah sembilan nih! “ pekik ku. Aku berlari menuju kamarku
yang terletak dilantai atas. Kuambil ransel yang semalam telah kuisi dengan
macam-macam barang yang sekiranya nanti akan dibutuhkan. Tak mau terlambat, aku
langsung turun dan meminta kakakku untuk mengantar. Hanya butuh 20 menit untuk
sampai dirumah Dipta. Sampai disana, semua telah berkumpul dan siap untuk
berangkat. Tentu saja mereka hanya kurang menungguku.dan setelah semua lengkap,
Let’s Go to Solo!!
“ Maaf ya Om nggak bisa ngantar sampai tempat nenek. Habis ini Om ada
acara. “ Papa Dipta memulai pembicaraan di dalam mobil. “ Iya Om nggak apa-apa.
Lagian.. asyik Om bisa naik kereta. “ jawab Bibah mewakili. Sepanjang
perjalanan kami sibuk mendiskusikan kegiatan yang akan kami lakukan nanti.
Perjalanan sampai ke stasiun kira-kira hanya membutuhkan waktu 1jam saja.
Walaupun hanya 1 jam, entah mengapa rasanya lama.. sekali tak sampai-sampai.
Akibatnya, banyak dari kami yang tertidur selama di mobil. Aku juga tidur.
Tau-tau, sudah sampai di gerbang stasiun. Kebetulan, Dipta sudah menyiapkan 5
tiket kereta. Jadi, tak perlu ke loket untuk membeli tiket lagi. “ Daah pa! “
pamit Dipta diikuti suara kami berempat, “ Daah Om..” kami berlima segera naik
ke gerbong kereta, mencari tempat duduk, dan enjoy the trip. Aku, Dila, dan
Hana. Duduk di bangku sebelah kanan, sedangkan Bibah dan Dipta di lajur kiri.
Memang satu bangku untuk tiga orang. Jadi, satu kursi di bangku Dipta diisi
oleh penumpang lain. Penuh sesak kereta dihari ini. Kata Dipta, kalau tiket tak
pesan terlebih dahulu, pasti sudah kehabisan.
Naik kereta ternyata tak selama yang ku pikirkan. Mungkin karena ku tidur
sepanjang perjalanan, atau memang dekat?. Yang jelas, ketika ku tengok arloji
di tangan kiriku, kira2 waktu tempuh kereta ini sekitar 30 menit saja. Ketika
aku terbangun, keempat temanku juga telah terjaga dari kantuk yang rasanya
menyerang setiap saat. Ciiit.. kereta sepertinya telah terhenti. Kujinjing
ransel, dan bersiap membuka pintu kompartemen. “ Solo We coming..!!!” teriak
kami serempak sambil melangkah keluar. Udara Solo rasanya sejuk dan dingin.
Langit Solo juga rasanya lebih bersih. Ah mungkin hanya bawaan suasana hati
yang sedang gembira. “ Dipta kalau nggak salah.. rumah Nenekmu tinggal lurus
kedepan, lalu belok kanan ya? “ tanyaku memastikan sebelum berjalan. Dipta
mengangguk mantap, dan segera berlenggang menuju arah tadi. Kami tak perlu
kendaraan untuk menuju rumah nenek Dipta. Tinggal jalan 5 menitan saja sudah
sampai. “ Wah... kok sepi sih? “ Dipta terkejut melihat semua jendela yang
tertutup rapat. Memang tak biasanya seperti ini. Kecuali, nenek sedang pergi
lama atau menginap. “ ah mungkin sedang pergi.” Ujar Bibah. Dipta hanya
mengangguk lesu sambil mencoba memanjat kursi untuk mengambil kunci pintu
cadangan diatas ventilasi. Setelah pintu terbuka, Dipta mengedikkan kepalanya
dengan maksud menyuruh kami mengikutinya masuk ke dalam. “ Wih.. luas banget
rumahnya Dip!” seru Bibah sambil mengedarkan pandangannya. Dipta hanya
tersenyum sambil mencoba menelepon Om dan Tantenya. Siapa tahu Nenek ada
disana. “kalian santai dulu ya.. aku mau coba nelfon Tante dulu. Dipta
menyuguhkan beberapa toples makanan dan 5 cangkir gelas berisi minuman berwarna
coklat. “Ini lah coklat panas paling sedap. “ puji Hana sambil menyeruput satu
teguk lagi. “ Di sini itu tanam sendiri Cocoa nya na. “ jelasku yang memang
pernah berkunjung ke kebun Cocoa neneknya Dipta dulu. “ Ah tak bisa dihubungi.”
Ujar Dipta sedikit murung. “ nggak papa Dip. Hari ini, kita istirahat dulu di
sini. Dah cappek.. aku.” Kata Dila. Kami bertiga mengangguk-angguk menandakan
kami juga telah setuju. Dan telah diputuskan, malam ini kami menginap dulu. Di
rumah nenek Dipta itu.. malam ini, Di rumah ini, kami disibukkan dengan bikin
kue, dan bikin party. Rasanuya nyaman sekali tak ada yang mengawasi.
Sampai larut, suara katak
bersaut-sautan telah hadir meramaikan malam. Kami masih berpesta piyama di
kamar atas lantai 2. Asyik sekali acara malam itu. Namun.. tiba-tiba terdengar
suara dari lantai bawah. Beberapa jejak sepatu yang berderak-derak dilantai.
Nampaknya, sepatu orang itu berat. Mendengar ini, sontak kami terdiam. Bagai
disiram air es, badan kami seolah kaku. Siapa yang tengah malam begini bertamu
ke Rumah orang? Tanpa permisi lagi. suara langkah berat itu terdengar semakin
mendekat. Dan kelihatannya orang ini mengendap-endap. Suara ini jelas sekali
terdengar ditelinga. Lantaran.. tak ada suara lain yang mengganggu malam itu.
Kulihat, wajah keempat temanku pucat pasi. Bahkan mungkin wajahku juga. “
Dipta.. kau belum kunci pintu depan ya? “ bisik Dila sangat lirih. “ Aku lupa.tapi
Sepertinya sudah kok. “ jawab Dipta
dengan lirih juga. “ Kita nggak bisa diam gini aja! “ suara Bibah menggebu.
Namun, tentu saja tetap lirih. Bibah berbicara seraya bangkit dari
ketakutannya. Dia memberitahu rencananya kepada kami semua. “ Puspa..
mengerti?” tanysnya ketika selesai memberi araahan kepadaku. Ia menyuruhku
untuk memasang jebakan di dekat tangga, dan koridor depan kamar. Dengan langkah
yang kucoba untuk kupelankan, aku berangkat keluar dan mulai melaksanakan tugas
itu. Aku meletakkan dua kepal kelereng milikku di dekat tangga. Harapanku,
maling itu akan terpeleset dan tak sampai ke lantai atas. Setidaknya, kami
yakin kalau maling itu pasti akan naik untuk mencari kamar nenek. Selanjutnya,
untuk koridor, ku pasang benang benang yang melintang dari pintu kiri, sampai
pintu sebelah kanan. Ada tiga lapis jebakan tali yang kubuat. Selanjutnya, aku
melihat beberapa pot kecil dipojok ruangan. “aha! Aku ada ide. “ pekikku.
Segera kutambahkan satu macam lagi jebakan. Ku letakkan pot-pot itu di atas
pintu-pintu kamar. Semua pintu kuberi kecuali pintu kamar tidur kami berlima.
Aku yakin, kalau maling itu mencoba masuk ke kamar kami, jebakan di dalam yang
dibuat teman-temanku pasti aka berhasil menaklukannya. Kriet.... suara nya seperti orang itu sedang menaiki tangga! Ya.
Tangga dirumah ini, memang terbuat dari kayu. Jadi tiap dinaiki akan berbunyi
karena sudah lapuk. Aku segera kembali ke kamar.
“ psst.. ! orang nya sudah sampai tangga!” kabarku dengan panik. Kulihat sekeliling.
Tampaknya kamar ini sudah berubah menjadi kapal pecah. Acak-acakan, selimut
digantungkan, tudung lampu dan ember dibuat menggantung dan siap diluncurkan
agar tepat mengenai wajah maling itu, lemari baju ditempatkan tepat di depan
pintu agar tak begitu terlihat, dan ada ember berisi air yang siap tumpah
ketika pintu terbuka. Nah, khusus yang terakhir ini, baru saja di pasang. Tak
mungkin kan teman-temanku memasangnya ketika aku masih di luar? Wah senjata
makan tuan dong namanya. Hana bersiap dengan guling disamping pintu. Ia akan
memukul maling itu sekeras-kerasnya. Aku bersiap memegang selimut besar. Tugasku
nanti adalah menangkap sang aling yang sudah gontai kena jebakan-jebakan. ‘
glodak!’ jebakan pertama, sukses. ‘ Bruk!!’ jebakan dua, kena. Begitu
seterusnya sampai lapisan ketiga tali. Tapi sepertinya jebakan pot tidak
berhasil. Maling itu langsung masuk ke kamar kami. Jebakan kamar, dimulai.
Sesuai rencana, air tumpah langsung membuat rambut maling itu basah kuyup.
Guling dipukulkan tepat kewajahnya. Sampai-sampai orang itu jatuh terjengkang
kebelakang. “ Aduh!” pekok maling itu.
Tak peduli dengan suaranya kami melancangkan jebakan berikutnya. Yaitu..
gundala tudung lampu dan ember. Dila dan Dipta yang memegang kendali ini.
Mereka mengarahkan tepat ke wajah orang itu.terlihat ember tepat mendarat di
atas kepalasang maling. “ yess.” Ujar Dipta dan Dila. Kini tugasku dan Bibah.
Membungkus sang maling. Yup. Aku bertugas dengan selimut, sedangkan Bibah
dengan tali rafia. Kami bekerjasama membungkus maling yang sedang kebingungan.
“And.. sukses!” seru ku. Setelah toss ber5, kami membuka bungkusan maling itu.
Maling itu meronta-ronta tidak jelas. “ ayo kita buka. “ ujarku sambil membuka
rafia pertama. Bibah melanjutkan. Dan kami sangat kaget melihat orang yang kami
kira maling itu. “ Anak-anak! Apa apaan kalian ini? “ ujar orang ini marah.
Mukanya seperti kepiting rebus saking merahnya. “ Om Andi..?” ujar kami ber
lima. Iya. Om Andi adalah Om nya Dipta. Jadi orang yang kami kira maling itu..
ternyata Om Andi. “ ma.. maaf Om. Kami kira Om itu maling. “ jelasku mewakili.
Diikuti anggukan ke empat kawanku. “ makannya jangan asal masuk Om. Telfon dulu
kek.” Sahut Dipta. “ Om itu sudah sms kamu Dipta!” suara Om Andi meninggi. “ eh? Sebentar... wah maaf ya om. Dipta nggak
denger. “ ujar Dipta sambil mengecek handphone nya. Kami berlima benar-benar
merasa bersalah kepada Om Andi. Kami bersama-sama mengobatinya, dan tentu saja
membereskan jebakan-jebakan yang kami buat semalam.
Fajar menyingsing. Setelah bercerita, ternyata Om Andi datang ke sini untuk
menjemput kami. Nenek sedang di rumah tante Marwa. Jadi rencananya, pagi ini
kami akan ikut kesana. Om Andi tak henti-henti memaki-maki tingkah kami tadi
malam. Walau sudah berkali-kali minta maaf, sepertinya Om Andi tetap saja tak
bisa berhenti ngomel. yah sudah lah. Sekitar jam 8 pagi, kami bertransmigrasi
ke rumah Tante Marwa. Tak banyak memakan waktu.hanya sekitar 20 menit, kami
sudah sampai. Ternyata disana sangat ramai. Ada banyak saudara dan kerabat dekat
keluarga. Kami ber lima menghabiskan liburan kami dengan berbagai kegiatan yang
bebas kami lakukan. Kami juga bebas jalan-jalan ke kota, ke museum, ke pasar,
dan masih banyak lagi. it was amazing experience.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar