Manis Pahit Kenangan Anak Panti
Oleh :
AyutaPuspa Citra Zuama
Trafalgar Square, 2012. Namaku Annisa, umurku 20 tahun.
Aku putri Indonesia. Sekarang ini, aku tengah menuntut ilmu di negara yang
terkenal dengan jam raksasa-nya. Ya. Inggris. Kalian pasti berfikir bahwa aku
adalah gadis yang beruntung bisa menuntut ilmu di negeri orang. Tanpa
mengeluarkan biaya sedikitpun lagi! ya.. aku mendapat beasiswa. Sudah tiga
tahun ini aku tinggal di London. Ibu kota negara Inggris yang sangat luar biasa
hebat. Aku sendiri sebelumnya, tak pernah berani membayangkan akan memijakkan kakiku
di tanah asing ini. Benar. Sekalipun aku tak pernah memiliki cita-cita atau
impian yang setinggi ini. Kuliah di London!!
“ Annis? “ tanya seseorang dibelakangku. Ia membuyarkan
lamunanku. Aku tak pernah mempunyai teman disini yang memanggilku dengan
sebutan ‘ Annis’. Mereka lebih suka memanggilku dengan sebutan ‘ Nisa.’ Dan tak
banyak yang sering menyapaku. Tapi.. kali ini, sangat aneh. Dari logatnya saja,
seakan-akan orang ini sudah lama mengenalku. Dan.. baru aku ingat! Hanya ada
satu orang yang memanggilku dengan sebutan Annis. Tapi.. apakah mungkin itu
dia? Akupun menengok ke belakang dengan ragu. Rasanya, wajahku kaku ketika
melihat siapa yang berada didepanku kali ini. Ya tuhan.. apakah au bermimpi?!
“ Bbbbibian? “ akhirnya suaraku bisa keluar juga meski
sedikit tergagap. “ Ya. Aku kira kau lupa denganku. Ah, kau tak banyak berubah
Nis!” bisa kurasakan ekspresi ku, dan bisa kubandingkan dengan ekspresinya.
Pasti beda sekali! Beda 180 derajat! Senyum nya lebar sekali. Ia ceria sekali.
Matanya berbinar, alisnya terangkat, bahkan bola matanya seakan menari-nari. Ia
sangat gembira bertemu denganku. Sebenarnya, akupun demikian. Aku juga senang
sekali bisa berjumpa dengannya yang sekian lama tak pernah hadir dalam hidupku.
Bahkan, kukira aku tak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi.
“ Abian? Kok? Kamu.. bisa.. di.. sini? “ tanyaku
ragu-ragu. Bian menjawabnya dengan mantap dan bersemangat. “ tentu saja bisa.
Orang tua angkatku mengirimkanku untuk mengambil study S1 ku di London. Nah,
justru seharusnya aku yang bertanya Nis. Kok kamu bisa ada disini? Apa kamu dah
menemukan orang tua angkat atau orang tua kandungmu? Dan.. mereka juga
mengirimkan kamu untuk bersekolah disini? “ mendengar Abian menyebut orang tua,
aku memilih untuk terdiam dan tidak menjawab pertanyaannya. Tampaknya Abian
menyadari bahwa omongannya salah. Ia pun mengajakku untuk minum coklat panas
disebuah kafe.
“ Nis, maaf.. aku salah ngomong ya? Hem.. boleh tolong
ceritain nggak kamu bisa nyampe kesini tu gimana? “ Bian memulai pembicaraan
yang kali ini terlihat sedikit sopan dan lebih tenang. Aku merasa iba telah
membuatnya merasa bersalah. Seharusnya, tadi aku jawab saja sesuai apa yang
sebenarnya terjadi. Tapi.. masih ada setumpuk rasa iri, benci, sekaligus kecewa
yang rasanya masih bersarang dalam ingatanku. Ingatan mengenai Abian, adalah
ingatan paling pahit, sekaligus paling menyenangkan yang pernah kualami. Dan..
melihatnya sekarang dengan entengnya menanyakan tentang masalah Orang tua,
membuat ingatanku terlempar jauh ke 10 tahun yang lalu. Saat Bian
meninggalkanku. Meninggalkanku sendirian, dengan kejamnya ia mengingkari
janjinya. Janji yang terdengar sangat mantap waktu itu.
Aku dan Abian dulunya sudah seperti saudara kandung.
Bahkan mungkin terlihat seperti anak kembar sepasang yang dilahirkan oleh satu
Ibu. Tapi kenyataannya, tak pernah ada hubungan darah diantara kami berdua.
Kami hanya saudara satu nasib. Saudara seperjuangan, yang dibuang disebuah
Panti asuhan yang sama. Panti asuhan Kasih Bunda namanya. Kami besar
bersama-sama, bermain bersama, dan bahkan seperti ada yang kurang jika kami tak
bersama hanya dalam waktu 5 menit saja.
Bian sangat perhatian denganku. Ia tak pernah membiarkan
aku disakiti orang lain. Apalagi sampai aku menangis. Aku tak pernah mempunyai
teman selain Bian. Karena, semua anak di panti itu sangat nakal dan jahat.
Mereka selalu berbuat ulah kepadaku. Mereka memusuhiku. Tapi, apabila ada ibu
panti, mereka semua bersikap biasa dan malah sangat baik terhadapku. Rasanya..
aku ingin menempel kemanapun Ibu Panti pergi. Tapi, tentu saja itu tidak
mungkin. Beliau sangat sibuk. Beliau mempunyai lebih dari 3 panti dikawasan
jakarta.
Aku sangat bersyukur masih mempunyai satu teman. Masih
mempunyai Abian. Masih mempunyai orang yang memperhatikanku, yang menjagaku
waktu itu. Aku ingat sekali, ketika aku menangis karena sandalku diambil
sebelah, Abian menghiburku. Ia memberikan sebelah sandalnya meski sedikit kebesaran
untukku. Ia menyanyikan berbagai macam lagu untuk membuatku senang. Namun, aku
ingat. Waktu itu aku malah menangis lebih keras. Melihatku seperti itu, ia tak
menyerah. Ia mencoba berbagai cara untuk membuatku tersenyum. Ia memasang wajah
aneh, dan wajah anehnya yang ke 6, berhasil membuat tawaku tak tertahankan
lagi. Bian tampak senang ketika akhirnya aku bisa tertawa. Aku masih ingat, ia
membisikkan kalimat ini,
“ Nah, gitu dong! Kalau senyum kan lebih cantik!” sambil
berkedip nakal. Aku hanya tertawa melihat polah tingkah Abian waktu itu.
Suatu ketika, aku sakit. Aku panas berhari-hari. Aku tak
bisa kemana-mana, hanya bisatiduran di ranjang kamar. Walaupun kamar putri dan
putra berjarak cukup jauh, tapi Bian tetap datang setiap hari untuk menjengukku.
Ia datang setiap hari membawa berbagai macam mainan. Ia berharap, aku segera
sembuh, dan bisa segera bermain dengannya lagi. ia menghibur, dan membantu
merawatku setiap hari hingga aku sembuh. Bahkan, jika aku sulit makan ia tak
segan memaksaku untuk melahap habis sepiring bubur yang terasa tawar waktu itu.
Bubur tanpa lauk adalah menu sarapan khas di Panti kami. Meski aku tau betul
bahwa Bian sangat tak suka bubur itu, anehnya, setiap pagi saat aku sakit, ia
selalu makan dikamarku dengan lahap. Setelah itu, dia selalu mengatakan bahwa
rasa bubur itu tak seburuk kelihatannya. Dan ia selalu mengatakan kalimat,
“ Kau harus makan banyak kalau kau mau sembuh. Kau tak
mau menghabiskan waktumu di tempat tidur saja kan? Sampai kapan kau mau bolos
sekolah? “ kalimat itu kudengar setiap hari jika aku sulit makan. Dan setelah
Abian mengatakan kalimat tadi, biasanya ia tak diam saja menunggu aku bangkit,
dan mengambil piringku sendiri. Ia mengambilkannya, bahkan menyuapiku. Saat
pertama kali ia menyuapiku, waktu itu adalah hari kedua aku terbaring di tempat
tidur karena demamku. aku merasa beku saking kagetnya. Aku tak percaya abian
bahkan sampai segitu perhatiannya terhadapku.
“ Kenapa kau malah bengong? Ayo buka mulutmu! “ suaranya
masih terngiang. Ia mengatakan kalimat ini saat aku malah beku terkejut melihat
ia menyuapiku.
Bian tidak sekelas denganku, ia setahun lebih tua
diatasku. Saat aku kelas 1, ia kelas 2, saat aku kelas 2, ia kelas 3, saat aku
kelas 3, ia kelas 4. Dan begitu seterusnya. Mungkin, ia menganggapku sebagai
adik perempuannya. Sehingga ia sangat sayang terhadapku. Yang aku tau, Bian tak
seperti aku. Ia tetap mempunyai banyak teman di panti, Apalagi di sekolah. Dia
orangnya supel, ceria, dan easy going. Tak heran banyak orang merasa nyaman
berteman dengannya. Berbeda dengan aku, aku adalah orang yang pemalu, sulit
bergaul, dan cenderung pendiam. Meski begitu aku masih mempunyai beberapa teman
disekolah. Tapi, akibat sifat pendiamku, di Panti, hanya Bianlah temanku.
Bian pernah mengatakan sesuatu yang mengubah sifat
sehari-hariku saat kami bermain di halaman belakang panti. ia mengatakan bahwa
ia ingin, aku mempunyai teman selain dia. Ia berharap, agar aku bisa bergaul
dan diterima baik oleh teman-teman yang lain. Dan ia juga berkata bahwa aku tak
perlu takut akan disakiti. Tentu saja, setelah itu ia mengatakan bahwa ia aka
membelaku apapun yang terjadi. Aku yakin, ia ingin aku mandiri. Ia berharap,
aku bisa bertahan tanpa dia. Mungkin, dia cemas melihat keadaanku. Aku
tersenyum mendengar kata-katanya itu, dan aku mencoba memantapkan suaraku, aku
ingin membuat Bian percaya bahwa aku bisa. Kalau tidak salah, dulu aku berkata
setengah meneriakkan kalimat ini,
“ Baik! Aku yakin, aku pasti bisa dapat teman kok! Tenang
saja.. “ sepertinya aku mengatakan kalimat ini sambil nyengir lebar ke arah
Bian. Dan tanganku mengepal, menghantam udara. Bian tersenyum dan menepuk-nepuk
kepalaku waktu itu. Ya, itu kebiasaannya. Entah aku sedih, senang, bahkan
bersemangat sekalipun ia selalu memandangku dengan tatapan lucu dan
menepuk-nepuk kepalaku. Agak risih memang, tapi.. tak bisa dipungkiri, aku
senang sekali. Mungkin sejak kecil, aku sudah menyukai Bian. “ Iya.. aku
percaya, kamu pasti bisa kok. “ bisiknya juga ditepukan ke 3. Aku encoba
meyakinkan dengan memamerkan gigi-gigi susuku.
Mulai hari itu, aku bertekad untuk berusaha mendapat
teman sebanyak-banyaknya. Aku berpikir, jika aku menemukan banyak teman, pasti
Abian akan senang. Usahaku berhasil, dalam tiga hari saja, di Panti aku sudah
bisa berteman dengan kelompoknya Amanda. Tak kusangka, mereka semua sangat
baik. Dari dulu, aku takut dan tak pernah berani menyapa mereka. Aku takut,
mereka malah akan menjauhiku. Tapi, sekali lagi yang menguatkanku dan yang
membuatku akhirnya berani menyapa mereka adalah kata-kata Abian. “ Kalau kau
tak pernah mencobanya, kau tak akan pernah tau apa yang terjadi. “ begitu
bunyinya. Aku mendengar Abian mengatakan kata-kata itu suatu waktu ketika kami
bermain di kebun. Menurutku, kalimat-kalimat Abian sangat penuh inspirasi.
Bahkan sampai sekarang aku masih mengingat semua kata-kata inspirasi yang
pernah ia katakan.
Aku dan Abian kini tak hanya bermain berdua, aku mengajak
teman-teman perempuanku, dan Abian mengajak anak laki-laki untuk bermain
bersama kami. Rasanya, duniaku semakin hari semakin berwarna. Bubur tawar yang
setiap pagi kami santap pun setiap hari rasanya seperti berganti-ganti. Tak
lagi tawar, bahkan terkadang aku bisa merasakan rasa bubur ayam khas bandung
yang merupakan makanan favoritku. Yang waktu itu baru pernah aku makan satu
kali. Anak-anak panti tak terlihat nakal dan kejam lagi.mereka semua terlihat
baik dimataku. Dan, tak pernah ada lagi anak-anak yang iseng terhadapku. Ah..
waktu itu adalah masa-masa pertama kali dalam hidupku, aku bisa menikmati dan
bersyukur bisa mengenal dunia ini. Waktu itu, rasanya hidupku sudah sangat
lengkap.
Sampai pada suatu saat, kami merasakan ada hal yang akan
mengancam kebersamaan kami. Kami adalah anak panti. kami bisa bebas dari panti
ini, kalau kami mengalami salah satu hal dari 1, masa kami telah kadaluarsa
dipanti ini, dan 2, kami mendapatkan orang tua angkat. Dengan kata lain, ada
yang mau mengadopsi kami menjadi anak mereka. Tentu tak mungkin hal nomor 1
yang mengancam kami saat ini. Hal ke 2 lah yang sedang mengancam kebersamaan, dan
persahabatan indah kami saat ini. Meskipun sepertinya Cuma aku saja yang
menganggap hal ini sebagai ancaman. Bahkan, aku lihat semua temanku malah
menyambut hal ini dengan penuh harap agar mereka dapat beruntung diadopsi oleh
sepasang orang tua yang akan dengan senang hati merawat mereka, serta
menyayanginya.
Hari pengadopsian biasanya hanya digelar seminggu sekali.
Kami, para anak yatim piatu seperti dilelang. Ada beberapa pasang suami istri
yang datang tiap hari Minggu mulai pukul 12 siang. Kami, diatur berbaris rapi
di ruang bermain dan diwajibkan untuk mengenakan pakaian yang rapi dan wangi
jika ingin diadopsi. Aku lihat semuanya antusias, hanya aku saja dan.. Bian!
Ya. Aku sempat heran mengapa Bian juga berpakaian sangat buruk seperti aku
dihari pertama kami mengikuti seleksi adopsi ini. Tapi, saat aku menatapnya
dengan tatapan heran, ia malah balik menatap pakaianku juga. Aku tau, dia pasti
akan berkata, “ Ah.. kau juga kan? “
Alhasil, jelas kami berdua tidak terpilih untuk menjadi
anak angkat dari pasangan manapun karena penampilan dihari pertama pengadopsian
ini. Begitupun selanjutnya, minggu depannya, minggu depannya, dan depannya
lagi. hingga sudah hampir satu tahun, aku dan Bian sengaja menghindar agar tak
teradopsi. Tapi, suatu hari Bian memintaku untuk menemuinya di halaman belakang
panti. “ Annis. Kau benar-benar tak ingin diadopsi? “ tanyanya langsung. Aku
hanya tertunduk dan membisu mendengar pertanyaannya. Tak mungkin aku katakan
bahwa aku tetap ingin bersama-sama sahabat di panti ini. Khususnya bersama-sama
dengannya.
“ Kau tak tau apa
susahnya jika kita tak mendapatkan orang tua? “ tanyanya lagi semakin membuatku
bungkam.“ a-aku tau, kita.. punya masa kadaluarsa kan di panti ini? “ jawabku
dengan ragu masih dalam posisi tertunduk.
“ Hey. Dan kalau sudah seperti itu, kita tak akan bisa
meraih cita-cita kita. Cita-cita untuk bisa bersekolah, menuntut ilmu
setinggi-tingginya. Dan itu, Cuma karena masalah biaya. Kau tau kan, bahwa
panti ini hanya membiayai kita hingga SMA? “ tak kusangka Bian mengangkat
kepalaku dan memaksaku untuk menatap mata nanarnya. Matanya jernih, bulat, dan
terbayangkan api api ada ditengahnya. Aku tau, sepertinya ia marah karena aku
tak pernah niat mengikuti hari pengadopsian itu. Tapi.. bukankah dia juga?
Tanpa kutanya, sepertinya Abian bisa membaca jalan pikiranku. Ia melanjutkan
kalimatnya sambil masih terus memegangi rahang bawahku.
“ Kau tau, aku memang sengaja mengikuti gayamu yang
ogah-ogahan setiap hari pengadopsian. Aku akan mengikuti apapun yang kau
lakukan. Tapi aku tidak menyangka. Kenapa kau melakukannya berkali-kali dan
setiap minggu? Kau tau Nis? Ini membuatku sedikit marah. “ Nafas Bian memburu
ketika mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Apa? Marah sedikit? Aku bisa membaca
bahwa ini kemarahan besar.
“ Lalu kenapa kau mengikuti gayaku? Kau bisa kan..
berpakaian yang rapi dan merapikan kamarmu agar kau mendapat orang tua angkat?
“ tanggapku. Mungkin ini sedikit berkesan bahwa seakan aku ini menantangnya.
Dan aku bisa menebak bahwa setelah ini ia akan marah besar dan mendiamkanku
selama berhari-hari. Aku tak peduli.
Tapi, sepertinya dugaanku salah. Bian malah menjawab
dengan sabar. Tidak seperti biasanya. “ Aku ini hanya mau diadopsi kalau kamu
udah diadopsi dulu. “ Bian melepaskan tangannya dan mengalihkan pandangan ke
arah bak pasir. Aku jadi merasa bersalah. Tapi aku beranikan untuk menanyakan apa
dia sangat ingin mendapatkan orang tua angkat sehingga bisa semarah ini karena
aku tidak serius. Bian pun menjawab setelah menghela nafas panjang terlebih
dahulu. “ Kau tau kan impianku itu bersekolah kemana? Ya. Aku ingin kuliah di
Inggris Annis. Dan, sekali lagi kukatakan bahwa panti tak mungkin membiayai
kita untuk berkuliah. Jangankan Kampus Luar Negri, Kampus Lokal pun tak
mungkin. Oleh karena itu, aku sangat menginginkan orang tua asuh yang sanggup
membiayaiku. “ mendengar itu, rasanya aku jadi semakin bersalah.
“ Tapi.. kau sudah seperti adikku sendiri Nis. Aku tak
mungkin meninggalkanmu di Panti ini. Aku ingin, kaulebih dulu bahagia, kau
lebih dulu mendapatkan orang tua. “ mendengar jawaban Bian, aku bisa
menyimpulkan, selama aku belum mengubah sikapku setiap hari pengadopsian, ia
pasti akan marah kepadaku. Karena menurutnya, aku ini wajib diadopsi sebelum
dia. Ini repot. Tek seperti yang kubayangkan. Aku sempat mengira bahwa Abian
juga tak ingin berpisah dari sahabat-sahabat disini. Tapi sepertinya malah, ia
sangat mengharapkan ia segera diadopsi. Bian selalu bisa berfikir matang. Ia
selalu melihat kedepan. Selalu memikirkan masa depannya. Aku kagum dengannya.
Dan, tentu saja apa yang dikatakan Bian tadi sangatlah masuk akal dan benar
sekali. Panti ini mempunyai masa kadaluarsa bagi setiap anak disini. Jika anak
itu sudah lulus SMA. Seperti yang dikatakan Bian tadi. Jadi jika kau ingin
melanjutkan kuliah, kau harus mendapatkan orang tua. Kalimat Bian terus
terngiang- ngiang di telingaku. Bahkan sampai sekarang masih.
Hari Pengadopsian datang lagi. untuk kali ini, aku
sengaja mendatangi kamar Abian pagi-pagi hanya untuk mengatakan, “ Bian! Aku
hari ini, pasti dapat orang tua asuh. “ ucapku dengan riang di depan pintu
kamarnya.Aku mengenakan pakaian terbaikku. Dan aku juga sudah mandi. Aku
sengaja menata rambutku dengan spesial untuk hari ini. Melihat penampilanku
ini, abian sangat terkejut. Sampai-sampai bola matanya seperti akan keluar. Ia
bersandar di tembok sambil mengatakan “ ya. Bagus. Annis terimakasih. “ aku
lihat mulutnya masih ternganga selebar jari telunjukku waktu itu. Aku hanya
mengedipkan mata dan berlari-lari riang menuju ke kamarku. Aku berniat untuk
menatanya serapih mungkin. Selain dilihat dari penampilan, para calon orang tua
asuh juga akan menyeleksi lewat kerapihan kamar para anak. Saat itu, yang ada
dikepalaku hanya Cita-cita Abian yang hanya bisa terwujud jika dia sudah
mendapatkan orang tua asuh. Ya. Aku berjuang untuknya.walaupun masih setengah
hati aku menyambut hari adopsi ini. Aku masih enggan untuk berpisah dengan
Abian.
Tapi.. perpisahan itu pasti terjadi kan? Entah cepat atau
lambat. Dan perpisahan antara Abian denganku kali ini, bisa dikategorikan
sebagai perpisahan cepat. Siang itu juga, kami resmi berpisah. Bukan aku yang
diadopsi, tapi malah Abian terlebih dahulu yang mendapat orang tua asuh.
Kebetulan, hari itu yang diinginkan para orang tua asuh adalah anak laki-laki.
Anak putri tidak ada yang diambil siang itu. Dan, kebetulan sekali, Abian telah
berdandan amat rapi dan bersih. Tak seperti kebanyakan anak panti ini yang
kumal, Abian terlihat paling berkilau diantara mereka. Kalau saja sejak awal
Bian tak sengaja membuat dirinya kucel hanya untukku, mungkin dia sudah
diadopsi dari dulu. Kali ini, Bian terpilih. Ia sempat memelototkan matanya
kearahku. Aku, yang tadinya rasanya ingin sekali merengek, jadi tak tega ketika
ingat kata-katanya yang beberapa hari ia pidatokan. Akhirnya aku memilih untuk
tetap tersenyum dan mengedikkan kepalaku ke arah sepasang suami istri calon
orang tua angkat Abian nanti. Mereka terlihat berada. Pakaiannya bagus, bahkan
terkesan mewah. Pasti mampu mewujudkan cita-cita Abian untuk bersekolah ke
Inggris nanti.
Aku mencoba untuk tegar saat harus melihat Abian
mengemasi barang-barangnya. Aku menahan semua kecemasanku, semua kesedihanku
agar Abian bisa mendapatkan impiannya. Aku pikir, selama ini aku cukup
merepotkannya di panti. Bian memandangku berkali-kali. Berkali-kali pula aku
balas dengan senyuman yang aku usahakan tidak terkesan terpaksa. Abian meminta
waktu untukberbicara denganku sebelum akhirnya ia harus pergi bersama orang tua
barunya. Satu janji paling manis yang ia ucapkan sebagai kalimat terakhir. “
Annis! Aku janji, aku akan mengunjungimu setiap hari setelah pulang sekolah.
Kita masih satu sekolah kan!” teriaknya sambil melambaikan tangan. Ya. Kami
masih satu sekolah. Tentu. Aku sangat lega ketika mengingat hal itu. Mengingat,
bahwa aku masih akan sering bertemu dengan Abian.
Ternyata, teori tadi sangat salah. Esok paginya juga, aku
melihat bangku Abian kosong. Aku sengaja mengintip ke kelasnya. Anak itu tak
berangkat sekolah. Tapi.. kenapa? Dia tak pernah absen kecuali dia sedang
sakit. Dan aku lihat, kemarin dia sangat sehat. Tak mungkin Bian sakit hari
ini. Tapi, itulah yang terjadi. Hari ini, Abian tak datang ke sekolah. Begitu
juga hari-hari selanjutnya. Hingga satu minggu penuh aku bolak-balik
mengunjungi kelasnya. Namun, tetap saja aku tak menemukannya. Sampai, suatu
hari aku mendengar kabar bahwa Abian dipindahkan sekolahnya oleh orangtuanya.
Dan tak ada yang tau Abian dipindahkan kemana. Yang semakin membuatku sedih,
Abian tak pernah menepati janjinya untuk menemuiku, untuk mengunjungiku di
Panti. inilah janji yang ia langgar dengan kejam. Yang membuat aku masih
sedikit benci terhadapnya hingga sekarang. Ia telah melanggar janji
termanisnya. Aku tak pernah melihatnya sejak saat itu.
“ Annis.. hello.. jawab lah pertayaanku. Apa kau
menemukan orangtua asuh yang sangat kaya? “ Tanya Abian menyadarkan lamunanku.
“ Apa kau pikir aku seberuntung kau! “ bentakku sekeras
mungkin. Aku tak peduli seisi cafe menengok kearahku. Abian terlihat kaget
ketika aku tiba-tiba membentaknya. “ Kau mau tau? Aku tak pernah punya yang
namanya O-rang-tu-a!” kudekatkan wajahku ke Bian. “a.. a.. apa maksudmu? “ Bian
kini tergagap. Mungkin dia ketakutan. “ Dengar ya, aku tak pernah keluar dari
panti itu hingga aku diusir oleh ibu panti karena masaku telah kadaluarsa.” Aku
masih memasang intonasitinggi, namun sekarang lebih tenang. Mata Bian tiba-tiba
terbelalak. Sepertinya, aku sudah bisa menebak apa yang akan iya tanyakan.
“ Aku bisa disini, karena bantuan beasiswa. Aku teus
berusaha mencari beasiswa yang bisa membiayaiku kuliah hingga luar negeri. Dan
akhirnya, aku mendapatkannya. “ Aku menjelaskan tanpa Abian minta. Dan
sepertinya dugaanku benar, bahwa jawaban inilah yang Bian inginkan. “ Ta.. Tapi
Bagaimana kau.. bisa mendapat Beasiswa? “ tanya Abian ragu-ragu takut kalau
salah ngomong lagi. aku sempat termenung sebentar membayangkan perjuanganku
sebelum akhirnya sampai di tempar luarr biasa hebat ini. Kota London.
Akupun menceritakan semuanya kepada Abian. Aku
menceritakan bahwa, sebenarnya aku telah mendapat beasiswa ini sejak aku duduk
di bangku kelas 2 SMA. Aku sudah berusaha sejak kelas 1 SMA. Aku yakin, aku tak
mungkin mendapatkan orang tua asuhku. Aku terus murung dan menangis di kamar
setiap hari.Tentu tak ada yang mau memilih dan mengasuh anak pemurung. Maka, tiaphari Pengadopsian, aku tak pernah berharap banyak dengan memakai pakaian serapi dan sebagus mungkin. Aku mengurung diri dikamarku tiap Hari adopsi. Tapi, kemudian aku teringat tentang masa kadaluarsa. Aku tak bias diam saja dan pasrah menyerahkan nasibku setelah SMA kepada jalanan. Jadi, mulai hari itu juga, aku rajin mencari informasi melalui internet,
bagaimana cara mendapatkan beasiswa untuk study ke London.
Ternyata, aku harus mengumpulkan penelitian dan bersaing dengan ribuan orang. Dengan bantuan guru IPA, dan juga guru bahasa Inggrisku, aku berhasil juga menuliskan laporan penelitian dalam bahasa Inggris. Itu semua tidak hanya memerlukan waktu singkat. Aku membutuhkan 1 setengah tahun untuk menjadikan laporan penelitianku patut diajukan dalam perebutan beasiswa tadi.
“
Sejenak, masaKadaluarsa itu mengalihkan kesedihanku. Aku fokuskan fikiranku tiap malam untuk menyelesaikan penelitianku itu.“ kuteguk minumanku untuk menenangkan suasana. “ Aku..tak pernah berfikir kalau kamu nggak dapat Orang tuaAsuh nis. Maafinaku.“
terdengar penyesalan Abian bernada lesu. Aku tak pernah melihat Abian yang seperti ini. Abian yang kukenal selalu ceria dan penuh semangat. Bahkan kukira, seorang Bian nggak akan bias terlihat sedih. Kukira, dia setegar baja. Aku jadi sedikit merasa tidak enak hati padanya. Akupun segera mengangkat wajahku dan tersenyum padanya.“ Aku tak pernah menyalahkanmu. Aku tetap menantikanmu. Dan, akhirnya kita bertemu lag isekarang. Mungkin ini sudah takdir. Seharusnya, aku tak membuatmu sedih juga.Takdir pasti ingin kau menemukanku dalam keadaan yang sukses.
Yah..seperti sekarang ini. “ mungkin, memang lebih baik aku tak menyalahkan Abian yang tak pernah menjengukku waktu dulu. Kulihat, wajah Bian mulai tersenyum lagi.“ tapi, kenapa kau bersikap ogah-ogahan lagi saat Hari Pengadopsian? Bukankah,
terakhir kali waktu itu kau sudah merubah kebiasaanburukmu itu?“ Pertanyaan Bian kali
inibenar-benar membangkitkan emosiku. “ Kenapa kamu nggak sadar-sadar hah? Aku takut nggak akan pernah ketemu kamu lagi. Aku berusaha bertahan di panti, menunggu kamu mengunjungiku! Tapi apa? Kamu nggak pernah dateng kan? “ wajahku sepanas batu bara rasanya. Mungkin sudah semerah kepiting rebus. Bian sampai mundur merapat kekursinya saat aku meneriakinya.“Mengenai itu, maafin aku. Biar kujelasin ya, orangtua angkat ku itu..“ Bian memulai ceritanya, ia menjelaskan bahwa dia tidak bias mengunjungiku, karena keesokan harinya juga, ia dan orangtua angkatnya pindah keluar kota. Mereka mengajak Abian pindah ke Surabaya. Maka dari itu, Abian yang masih kecil tentu takbisa menolak, apalagi mengunjungiku sendirian. Aku cukup maklum dengan alasannya. Setelah menjelaskan semuanya, ia meneguk minumannya dan kemudian mengusap kepalaku. Jujur, aku kangen sekali usapannya.Aku yang tadinya hanya menundukkan kepala langsung menatap wajah Abian yang kini ternyata berada sangat dekat didepanku. Mungkin, hanya berjarak sekitar tiga sentisaja. “ kau mau memaafkanku? “ aroma
kopi Arabica tercium dari mulutnya. “ tentu. “
jawabku singkat.
Aku masih memandang matanya sampai akhirnya ia melepaskan usapan tangannya dari kepalaku. “ huffthh..
leganya. Putri kecilku tidak marah lagi.“ ujarnya sekencangnya sampai seisi took menengok kearah kami. Mungkin bagi mereka yang tidak mengetahui bahasa Indonesia akan berfikir bahwa kami sedang memerankan drama.
Mungkin mirip
drama obrolan kami daritadi. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah Bian yang serampangan.
“
Tuan puteri,
untuk biaya hidup, kau juga dapat beasiswa? “ kujawab pertanyaan Bian hanya dengan anggukan dua kali karena aku sedang sibuk mengaduk-aduk soup
cream lezat didepanku.
“ wah kau beruntung sekali! Sewa apartemen disini sangat mahal. Hei, bagaimana kalau malam ini kau makan malam dirumahku?“ aku heran mendengar ajakannya.
Mungkinkah..orangtua asuhnya ikut pindah ke London? “ haha..
iya. Ibuku mengikutiku tinggal disini. Ia merasa akan kangen kalau tetap di Indonesia.
Nanti beliau akan masak yang enak untuk makan malam. Sekalian,
kukenalkan kau kepada beliau. Aku ingin beliau tau siapa pacarku.“ jelas Abian yang seolah-olah
tau apa yang akan kutanyakan padanya. Aku sampai tersedak mendengar kalimat terakhir yang ia katakan. Ku belalakkan mataku kearahnya. Dengan maksud menanyakan ‘ APA? PACARMU?‘ dia faham , dan malah mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Yaampun!
Sebuah cicin!
“ nis.. aku sangat senang bias ketemu kamu lagi. Aku nggak mau sia-sia in kesempatan lagi. Aku ingin bersamamu untuk selamanya. Aku, ingin jadi orang special
dalam hidupmu.“
apa-apaan ini..
apa maksudnya,
ia melamarku?
Bagaimana bisa?
Kami kan barubertemu. yaampuun..tapi, memang ini yang kutunggu tunggu selama ini. Kuambil segera cincin itu dari tangannya, dan kukenakan.“ apa ini pantas? “ kuperlihatkan jariku kearahnya. Ia mengangguk. Aku pun hanya tersenyum dan segera berlari keluar kafe. Bian mengejarku. Ah..inilah yang dinamakan berjodoh mungkin. Setelah sekian lama berpisah,
akhirnya kami bertemu lagi.Bertemu disaat kami beranjak dewasa, dan bertemu sebagai sepasangkekasih.