Kamis, 03 November 2016

Payah, Memang...

awan selembut kapas berbaris rapi diatas sana. mengamati dengan tenang dan tertib segala hal yang terjadi setiap detiknya. ketika bahkan kita terlampau sibuk untuk memperhatikan alam sekitar, alam tak pernah membalas kecuekan kita. mereka senantiasa setia mengamati setiap gesek kuku jari kita. bahkan sebuah kedipan pelan tak kan pernah luput dari pandangan mereka. malu memang. bahkan alam ini jauh lebih dapat mengamalkan sebuah pesan moral yang terdapat dalam sebuah kisah klasik. dongeng pengantar tidur yang selalu dikemas apik dan selalu terdapat pesan moral didalamnya. lantas siapa yang mendongengi mereka? kami saja yang telah kenyang mendengar dongeng tersebut tak pernah mudah mengamalkannya. tak pernah mudah untuk peduli.

cobalah belajar dari alam. mereka tak pernah mengeluh ketika kita menelantarkan mereka, ketika kita dengan enggan melirik kebutuhan mereka. mereka bahkan tak pernah enggan menopang berat tubuh kita ini, mereka bahkan tak pernah berniatan mengusir kita dari sini. ketika kita sadar akan hal ini, kita tak lebih baik dari seekor ayam yang seenaknya tanpa rasa bersalah menjatuhkan kotoran mereka sembarangan di teras rumah majikannya. padahal si majikan dengan senang hati merawatnya, menyediakan makanan, menyediakan tempat tinggal, bahkan menjaga kelangsungan hidupnya. lantas bagaimana mestinya kita berperilaku? pantaskah kita menaruh kotoran yang bau itu di depan pintu rumah orang yang telah berbaik hati kepada kita? pantaskah kita menerapkan sebuah peribahasa yang mestinya kita hindari? "air susu dibalas air tuba". sebuah peribahasa yang mestinya kita jadikan sebagai sindiran untuk orang lain, namun justru malah berbalik menyindir kita. sungguh, aku malu.

"jangan campakkan aku" mungkin itu adalah tiga kata pertama yang akan diteriakkan mereka kepada kita. mereka tak menuntut macam-macam, bahkan mereka rela memberi kita semua yang kita butuhkan tanpa pamrih. makanan, air, pakaian, semua alat-alat kita yang selalu kita gunakan itu sadar tak sadar adalah pemberian mereka. mereka menyediakannya bebas, tanpa mengharap balas. satu pinta mereka. hanya satu, pedulilah padanya. jangan individualis, jangan egois. bahkan sebenarnya ketika kita campakkan mereka, justru kelak malah kita yang akan merugi.

"aku bisa lenyap" tiga kata kedua yang mungkin bergulir lincah dari mulut mereka setelah tiga kata pertama. tiga kata kedua ini sejatinya adalah ancaman yang masih disampaikan dengan sangat halus. sebuah sarkas yang kembali mengajak kita untuk lebih perhatian pada mereka. mengingatkan kita bahwa memang mereka tak akan abadi, tak kan ada selamanya menemani kita. eh bukan menemani, tepatnya.. takkan selamanya ada menyediakan apa yang kita butuhkan. kembali lagi, ini membuat kita sadar dan semakin sadar, kelak hidup kita tak kan ditopang bahkan diluar kehendak alam yang sebenarnya masih ingin berbaik hati.

kurang baik apa alam ini kepada kita, para penghuninya yang kerap ingkar. kerap acuh, tak menghiraukan keadaan mereka. kurang baik apa mereka dalam melayani, menyediakan segala yang kita butuh. kurang baik apa mereka yang tak mudadh sakit hati dengan sikap angkuh kita ini. kurang baik apa mereka yang masih ingin bertahan, masih sering mengingatkan bahwa mereka dapat lenyap kapanpun. bukan demi diri mereka.. bukan kawan.. mereka tak seegois kita. mereka justru memikirkan nasib kita semua. lagi-lagi kita dibuat malu dengan segala hal yang mereka lakukan kepada kita. segala hal yang telah mereka berikan tak sebanding dengan sikap kita pada mereka. kita perlakukan seperti apa mereka selama ini? bagaiman asikap kita pada mereka selama ini? bahkan hingga hari ini pun kita masih memandang bunga taman yang layu dengan tenang dan tanpa beban. padahal, sekali lagi itu adalah sarkas yang mereka lontarkan.

andai bumi bisa berkata-kata entah berapa ribu untai kata yang tak sabar lagi menyerbu keluar dari mulut mereka setiap detiknya. entah seberapa berisiknya seisi dunia ini. tak terbayangkan jika setiap pengawasan mereka memiliki hak untuk segera disampaikan kepada tujuannya. tentu kita yang dapat menjawab semua pertanyaan batin tersebut. bagaimanakah kita bersikap pada alam mulai hari ini. apakah kita masih susah sadar, apakah kita masih kurang peka dengan tiap sindiran, tiap sarkas yang secara tersembunyi sebenarnya selalu mengintip keluar dari mulut mereka. apakah kita butuh dunia yang berisik ini baru kita sadar? payah, memang.