Jumat, 21 Desember 2012

hey! please enjoy this short story.. thisis my assignment for Indonesia langguage term :)


Culik di Rumah Nenek

Waktu terasa cepat berlalu. Rasanya baru kemarin kami masuk sekolah dihari pertama. Tapi nyatanya, sekarang saat-saat yang selalu kami nantikan telah berada di depan mata. “ Yey! Akhirnya.. besok udah mulai libur. Bebas dari pelajaran, tugas, dan bisa tidur sepanjang hari..! “ Teriak Hana yang berjalan disampingku sambil berjingkat-jingkat riang. Aku mengangguk setuju, dan mengikuti gerakannya sampai di gerbang depan sekolah kami. Aku juga sangat senang menyambut datangnya masa liburan akhir semester. yang menurutku lumayan panjang. Kami berdua bagaikan narapidana yang baru saja berhasil kabur dari 500 lapis tembok kepungan para polisi. “ Hey!” panggil seseorang yang sudah berdiri didepan gerbang menunggu aku dan Hana. Matanya yang bulat, besar, dan berbulu mata lentik, menyilaukan pandanganku. Matanya memang hebat. Aku rasa.. mata itu mampu memantulkan sinar matahari yang paling terik sekalipun. Bahkan, mungkin bisa menggantikan peran bulan diwaktu malam. Pikirku. Namun, mata bulat kawanku yang satu ini, juga telah menjadi cirikhas darinya. Begitu silau, aku dan Hana langsung bisa tahu bahwa yang mencegat kami adalah Bibah. Setelah aku sedikit mendekat, terlihat Bibah berdiri dengan tangan mengayun-ayun mengikuti gerakan kakinya yang naik turun teratur dengan semangat. Kepalanya digerakkan patah-patah ke kanan dan ke kiri seirama dengan kaki dan tangannya. Bibirnya juga ikut menari kesana kemari. Bibah ini adalah kawanku yang paling periang, lincah, dan gokil abis. Dia juga selalu punya ide untuk mengisi liburan. “ kali ini kita mau ngapain? “ tanyaku tak sabar mendengar ide Bibah yang selalu mengalir deras bak air terjun Niagara. “ Aku juga masih berpikir nih. “ jawabnya singkat. Namun, rangkaian gerakan kaki, tangan, kepala, dan bibirnya tadi masih tetap ia lakukan dengan semangat.
Sejenak, suasana hening. Ada seseorang lagi yang memanggil dari seberang jalan sambil melambai-lambaikan tangannya. Walau kurang jelas terlihat, namun sepertinya orang itu tidak asing. Melihat benda bulat berwarna-warni yang ia pegang ditangan kananya, kami bertiga langsung mengenalinya. Ya. Dia teman dekatu juga. Namanya Dipta. Kemana-mana ia selalu membawa setangkai besar lolipop fullcolor yang sepertinya membuat giginya sakit tiap bulannya. Namun sepertinya Dipta ini tak pernah kapok untuk makan lolipop itu tiap hari. Dipta melambaikan tangannya lagi seakan berkata ‘Sini!’. Aku, Hana, dan Bibah mengangguk dan segera berjalan ke seberang. “ Hey tunggu aku dong! “ teriak suara yang sekali lagi tak asing ditelingaku dari belakang. Aku segera menengok, dan benar saja. Ternyata yang berteriak itu Dila. Otomatis, langkah kami bertiga terhenti. Kami bertiga dengan kompak menyajikan senyum dan anggukan kepala kepada Dila, dan langsung menarik lengannya untuk ikut menyebrang.
“ Denger deh. aku ada ide buat liburan kali ini. “ seru Dipta langsung ketika aku dan ketiga temanku sampai di tempatnya. “ Apa? “ tanya Bibah. Dipta berencana mengajak kami berempat untuk berlibur ke rumah Nenek nya di Solo. Katanya untuk masalah transport kesana, kita nanti diantar sampai stasiun tugu Jogja, dan laangsung naik kereta ke Solo. Rumah Neneknya Dipta tak jauh dari setasiun kereta. Sebelumnya, aku pernah ikut Dipta ke rumah Neneknya ini. “ disana kita ngapain aja?“ tanya Hana yang nampak kurang senang dengan ide Dipta ini. “ Kita bisa jalan-jalan ke kota Solo, ke sungai Bengawan Solo, ke Pasar Klewer, Outbond di Sungai, dan masih banyak lagi. jawab Dipta bersemangat. “ Wah seru tuh. Aku setuju sama ide mu. Nah siapa yang setuju? “ Bibah mencoba menghitung vote antara setuju dan tidak setuju ini. Dan hasilnya, ternyata kami ber 5 mengangkat tangan kami masing-masing. Artinya, tak ada yang tidak setuju, dan akhirnya diputuskan. Liburan kali ini, kami akan berangkat ke Solo. Kami telah memutuskan untuk berangkat pada hari Senin minggu ke dua liburan.
Cerah sekali hari ini. Rasanya alam pun megerti bahwa hari ini perasaan ku sedang senang bukan kepalang. Hari ini, Hari Senin minggu ke dua. Ya. Jadwal kami untuk berangkat ke Solo. Ke rumah Neneknya Dipta. Rencananya, pagi ini kami ber 5 akan berangkat dari rumah Dipta yang tak jauh dari sekolah. Dan nanti, dari sana kami akan diantar oleh Papa nya Dipta sampai stasiun. Tak sabar aku membayangkan betapa asyiknya naik kereta api. Memang sebelum ini, aku belum pernah naik kereta. Rrr.. rrr.. rrr.. telefon genggam ku bergetar. Ternyata ada pesan dari Dipta. Ia bilang, pukul sembilan tepat. Kami semua harus sudah berkumpul disana. Membaca pesan ini, aku langsung melirik arlojiku. “ Wah udah jam setengah sembilan nih! “ pekik ku. Aku berlari menuju kamarku yang terletak dilantai atas. Kuambil ransel yang semalam telah kuisi dengan macam-macam barang yang sekiranya nanti akan dibutuhkan. Tak mau terlambat, aku langsung turun dan meminta kakakku untuk mengantar. Hanya butuh 20 menit untuk sampai dirumah Dipta. Sampai disana, semua telah berkumpul dan siap untuk berangkat. Tentu saja mereka hanya kurang menungguku.dan setelah semua lengkap, Let’s Go to Solo!!
“ Maaf ya Om nggak bisa ngantar sampai tempat nenek. Habis ini Om ada acara. “ Papa Dipta memulai pembicaraan di dalam mobil. “ Iya Om nggak apa-apa. Lagian.. asyik Om bisa naik kereta. “ jawab Bibah mewakili. Sepanjang perjalanan kami sibuk mendiskusikan kegiatan yang akan kami lakukan nanti. Perjalanan sampai ke stasiun kira-kira hanya membutuhkan waktu 1jam saja. Walaupun hanya 1 jam, entah mengapa rasanya lama.. sekali tak sampai-sampai. Akibatnya, banyak dari kami yang tertidur selama di mobil. Aku juga tidur. Tau-tau, sudah sampai di gerbang stasiun. Kebetulan, Dipta sudah menyiapkan 5 tiket kereta. Jadi, tak perlu ke loket untuk membeli tiket lagi. “ Daah pa! “ pamit Dipta diikuti suara kami berempat, “ Daah Om..” kami berlima segera naik ke gerbong kereta, mencari tempat duduk, dan enjoy the trip. Aku, Dila, dan Hana. Duduk di bangku sebelah kanan, sedangkan Bibah dan Dipta di lajur kiri. Memang satu bangku untuk tiga orang. Jadi, satu kursi di bangku Dipta diisi oleh penumpang lain. Penuh sesak kereta dihari ini. Kata Dipta, kalau tiket tak pesan terlebih dahulu, pasti sudah kehabisan.
Naik kereta ternyata tak selama yang ku pikirkan. Mungkin karena ku tidur sepanjang perjalanan, atau memang dekat?. Yang jelas, ketika ku tengok arloji di tangan kiriku, kira2 waktu tempuh kereta ini sekitar 30 menit saja. Ketika aku terbangun, keempat temanku juga telah terjaga dari kantuk yang rasanya menyerang setiap saat. Ciiit.. kereta sepertinya telah terhenti. Kujinjing ransel, dan bersiap membuka pintu kompartemen. “ Solo We coming..!!!” teriak kami serempak sambil melangkah keluar. Udara Solo rasanya sejuk dan dingin. Langit Solo juga rasanya lebih bersih. Ah mungkin hanya bawaan suasana hati yang sedang gembira. “ Dipta kalau nggak salah.. rumah Nenekmu tinggal lurus kedepan, lalu belok kanan ya? “ tanyaku memastikan sebelum berjalan. Dipta mengangguk mantap, dan segera berlenggang menuju arah tadi. Kami tak perlu kendaraan untuk menuju rumah nenek Dipta. Tinggal jalan 5 menitan saja sudah sampai. “ Wah... kok sepi sih? “ Dipta terkejut melihat semua jendela yang tertutup rapat. Memang tak biasanya seperti ini. Kecuali, nenek sedang pergi lama atau menginap. “ ah mungkin sedang pergi.” Ujar Bibah. Dipta hanya mengangguk lesu sambil mencoba memanjat kursi untuk mengambil kunci pintu cadangan diatas ventilasi. Setelah pintu terbuka, Dipta mengedikkan kepalanya dengan maksud menyuruh kami mengikutinya masuk ke dalam. “ Wih.. luas banget rumahnya Dip!” seru Bibah sambil mengedarkan pandangannya. Dipta hanya tersenyum sambil mencoba menelepon Om dan Tantenya. Siapa tahu Nenek ada disana. “kalian santai dulu ya.. aku mau coba nelfon Tante dulu. Dipta menyuguhkan beberapa toples makanan dan 5 cangkir gelas berisi minuman berwarna coklat. “Ini lah coklat panas paling sedap. “ puji Hana sambil menyeruput satu teguk lagi. “ Di sini itu tanam sendiri Cocoa nya na. “ jelasku yang memang pernah berkunjung ke kebun Cocoa neneknya Dipta dulu. “ Ah tak bisa dihubungi.” Ujar Dipta sedikit murung. “ nggak papa Dip. Hari ini, kita istirahat dulu di sini. Dah cappek.. aku.” Kata Dila. Kami bertiga mengangguk-angguk menandakan kami juga telah setuju. Dan telah diputuskan, malam ini kami menginap dulu. Di rumah nenek Dipta itu.. malam ini, Di rumah ini, kami disibukkan dengan bikin kue, dan bikin party. Rasanuya nyaman sekali tak ada yang mengawasi.
Sampai larut, suara  katak bersaut-sautan telah hadir meramaikan malam. Kami masih berpesta piyama di kamar atas lantai 2. Asyik sekali acara malam itu. Namun.. tiba-tiba terdengar suara dari lantai bawah. Beberapa jejak sepatu yang berderak-derak dilantai. Nampaknya, sepatu orang itu berat. Mendengar ini, sontak kami terdiam. Bagai disiram air es, badan kami seolah kaku. Siapa yang tengah malam begini bertamu ke Rumah orang? Tanpa permisi lagi. suara langkah berat itu terdengar semakin mendekat. Dan kelihatannya orang ini mengendap-endap. Suara ini jelas sekali terdengar ditelinga. Lantaran.. tak ada suara lain yang mengganggu malam itu. Kulihat, wajah keempat temanku pucat pasi. Bahkan mungkin wajahku juga. “ Dipta.. kau belum kunci pintu depan ya? “ bisik Dila sangat lirih. “ Aku lupa.tapi  Sepertinya sudah kok. “ jawab Dipta dengan lirih juga. “ Kita nggak bisa diam gini aja! “ suara Bibah menggebu. Namun, tentu saja tetap lirih. Bibah berbicara seraya bangkit dari ketakutannya. Dia memberitahu rencananya kepada kami semua. “ Puspa.. mengerti?” tanysnya ketika selesai memberi araahan kepadaku. Ia menyuruhku untuk memasang jebakan di dekat tangga, dan koridor depan kamar. Dengan langkah yang kucoba untuk kupelankan, aku berangkat keluar dan mulai melaksanakan tugas itu. Aku meletakkan dua kepal kelereng milikku di dekat tangga. Harapanku, maling itu akan terpeleset dan tak sampai ke lantai atas. Setidaknya, kami yakin kalau maling itu pasti akan naik untuk mencari kamar nenek. Selanjutnya, untuk koridor, ku pasang benang benang yang melintang dari pintu kiri, sampai pintu sebelah kanan. Ada tiga lapis jebakan tali yang kubuat. Selanjutnya, aku melihat beberapa pot kecil dipojok ruangan. “aha! Aku ada ide. “ pekikku. Segera kutambahkan satu macam lagi jebakan. Ku letakkan pot-pot itu di atas pintu-pintu kamar. Semua pintu kuberi kecuali pintu kamar tidur kami berlima. Aku yakin, kalau maling itu mencoba masuk ke kamar kami, jebakan di dalam yang dibuat teman-temanku pasti aka berhasil menaklukannya. Kriet.... suara nya  seperti orang itu sedang menaiki tangga! Ya. Tangga dirumah ini, memang terbuat dari kayu. Jadi tiap dinaiki akan berbunyi karena sudah lapuk. Aku segera kembali ke kamar.
“ psst.. ! orang nya sudah sampai tangga!” kabarku dengan panik. Kulihat sekeliling. Tampaknya kamar ini sudah berubah menjadi kapal pecah. Acak-acakan, selimut digantungkan, tudung lampu dan ember dibuat menggantung dan siap diluncurkan agar tepat mengenai wajah maling itu, lemari baju ditempatkan tepat di depan pintu agar tak begitu terlihat, dan ada ember berisi air yang siap tumpah ketika pintu terbuka. Nah, khusus yang terakhir ini, baru saja di pasang. Tak mungkin kan teman-temanku memasangnya ketika aku masih di luar? Wah senjata makan tuan dong namanya. Hana bersiap dengan guling disamping pintu. Ia akan memukul maling itu sekeras-kerasnya. Aku bersiap memegang selimut besar. Tugasku nanti adalah menangkap sang aling yang sudah gontai kena jebakan-jebakan. ‘ glodak!’ jebakan pertama, sukses. ‘ Bruk!!’ jebakan dua, kena. Begitu seterusnya sampai lapisan ketiga tali. Tapi sepertinya jebakan pot tidak berhasil. Maling itu langsung masuk ke kamar kami. Jebakan kamar, dimulai. Sesuai rencana, air tumpah langsung membuat rambut maling itu basah kuyup. Guling dipukulkan tepat kewajahnya. Sampai-sampai orang itu jatuh terjengkang kebelakang. “ Aduh!” pekok maling itu.  Tak peduli dengan suaranya kami melancangkan jebakan berikutnya. Yaitu.. gundala tudung lampu dan ember. Dila dan Dipta yang memegang kendali ini. Mereka mengarahkan tepat ke wajah orang itu.terlihat ember tepat mendarat di atas kepalasang maling. “ yess.” Ujar Dipta dan Dila. Kini tugasku dan Bibah. Membungkus sang maling. Yup. Aku bertugas dengan selimut, sedangkan Bibah dengan tali rafia. Kami bekerjasama membungkus maling yang sedang kebingungan. “And.. sukses!” seru ku. Setelah toss ber5, kami membuka bungkusan maling itu. Maling itu meronta-ronta tidak jelas. “ ayo kita buka. “ ujarku sambil membuka rafia pertama. Bibah melanjutkan. Dan kami sangat kaget melihat orang yang kami kira maling itu. “ Anak-anak! Apa apaan kalian ini? “ ujar orang ini marah. Mukanya seperti kepiting rebus saking merahnya. “ Om Andi..?” ujar kami ber lima. Iya. Om Andi adalah Om nya Dipta. Jadi orang yang kami kira maling itu.. ternyata Om Andi. “ ma.. maaf Om. Kami kira Om itu maling. “ jelasku mewakili. Diikuti anggukan ke empat kawanku. “ makannya jangan asal masuk Om. Telfon dulu kek.” Sahut Dipta. “ Om itu sudah sms kamu Dipta!” suara Om Andi meninggi.  “ eh? Sebentar... wah maaf ya om. Dipta nggak denger. “ ujar Dipta sambil mengecek handphone nya. Kami berlima benar-benar merasa bersalah kepada Om Andi. Kami bersama-sama mengobatinya, dan tentu saja membereskan jebakan-jebakan yang kami buat semalam.
Fajar menyingsing. Setelah bercerita, ternyata Om Andi datang ke sini untuk menjemput kami. Nenek sedang di rumah tante Marwa. Jadi rencananya, pagi ini kami akan ikut kesana. Om Andi tak henti-henti memaki-maki tingkah kami tadi malam. Walau sudah berkali-kali minta maaf, sepertinya Om Andi tetap saja tak bisa berhenti ngomel. yah sudah lah. Sekitar jam 8 pagi, kami bertransmigrasi ke rumah Tante Marwa. Tak banyak memakan waktu.hanya sekitar 20 menit, kami sudah sampai. Ternyata disana sangat ramai. Ada banyak saudara dan kerabat dekat keluarga. Kami ber lima menghabiskan liburan kami dengan berbagai kegiatan yang bebas kami lakukan. Kami juga bebas jalan-jalan ke kota, ke museum, ke pasar, dan masih banyak lagi. it was amazing experience.

Sabtu, 11 Agustus 2012

cerpen terbaru :) get second rank :D hehe


Semangat RI tak Padam di Pelosok
Sejak subuh tadi, Dika sibuk memandangi sebuah kalender yang penuh dengan coretan tinta merah menyala. Sambil memandangi kalender itu, sesekali dia mengangkat potongan koran lama sambil mengembangkan senyumya. Tapi, seakan teringat sesuatu, segera ia benamkan senyumannya seraya bergumam. “ Kenapa di Desa ku ini tak pernah ada perayaan tujuh belasan? “ ya. Dika belum penah merasakan perayaan tanggal tujuh belas Agustus seperti yang sering ia lihat di koran, dan majalah. Dika tinggal di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Penduduk di desa itu jumlah nya tak banyak. Sehingga, bila mengadakan ajang semacam itu, tentu hanya sedikit yang berpartisipasi. Sedang desa tetangga terletak berkilo-kilo meter jauhnya dari situ. Keadaan desa Dika sangat tertinggal. Listrik belum ada, sekolah hanya sampai SD, pusat kesehatan tak ada, jadi kalau ingin memeriksakan kesehatan, terpaksa warga harus bejalan puluhan kilometer ke desa sebelah.
Dika Sangat menginginkan jika Kades di desanya mengadakan sebuah kegiatan untuk memeringati hari jadi Indonesia. Ini sebabnya dari subuh tadi ia tak henti-henti memandangi kalender yang sudah ia corat-coret sejak awal bulan Agustus alu. Kini telah memasuki tanggal 10. Artinya kurang seminggu lagi. “ Yah kenapa desa kita tak pernah mengadakan satupun kegiatan tujuh belasan? “ tanya Dika kepada ayahnya yang tengah duduk di teras depan sambil menyeruput secangkir kopi hitam legam. “ Memang untuk apa nak?” Ayahnya bertanya balik. Tentu untuk memeriahkan HUT RI, serta menghargai perjuangan pahlawan yah. “ teriak Dika menggebu-gebu. Meski tak pernah sekolah, Dika selalu menyempatkan waktunya untuk membaca koran-koran atau majalah-majalah yang ia beli dari loper koran berbaju biru tua dengan topi bertuliskan ‘KOMPAS’ bertengger rapi dikepalanya. Memang hanya loper koran ini satu-satunya pembawa berita, pembawa hiburan, penghubung dunia yang ada di Desa ini. Loper koran ini lewat setiap pagi dengan mengendarai sebuah sepeda motor tua yang berwarna biru juga. Serasi dengan seragamnya. Loper koran ini, menurut Dika sangat berjasa. Dika mengetahui banyak hal dari loper koran tersebut. “ Nak, warga disini kurang memahami hal itu.” Jelas ayahnya. “ payah” sahut Dika singkat, dan langsung masuk kembali ke kamarnya. Ayahnya memandang anak semata wayangnya dengan iba. Sebenarnya, beliau tahu betul apa yang diinginkan anaknya. Ia tahu bahwa rasa nasionalis yang tinggi itu baik.
“Apa mereka tak tahu kalau hal semacam ini itu sangat mengasyikkan? Hih.” Dika menggerutu sambil berjalan mondar-mandir dengan mimik muka kesal. Tapi, tiba-tiba ia berhenti, mengambil selembar kertas dan pulpen, lalu menuliskan sesuatu disitu. Bagaikan mega yang baru saja tertiup angin, wajah Dika yang tadinya menggerutu kini mulai tersenyum kecil. Sambil memandangi kertas yang terlihatseperti surat itu, iya tersenyum sendiri dan berseru, “ Semoga ini Berhasil!! “. Dika berlari keluar kamarnya sambil membawa surat tadi dan potongan koran lusuh yang selalu ia genggam. Dengan semangat, ia terus berlari sampai keluar rumah dan terus berlari hingga berhenti di sebuah rumah yang nampaknya paling besar diantara yang lain. Rumah ini juga terbuat dari batu bata dan di cat rapi. Di halamannya, berkibar bendera merah putih dengan gagah. Sebelum memasuki halaman rumah itu, Dika menyempatkan untuk hormat seraya menyanyikan lagu Indonesia raya untuk menghormati sang saka merah putih. Mungkin hanya dia yang melakukan hal ini setiap masuk ke dalam kantor kepala desa Makmur Maju. “ Assalamu’alaikum pak “ ucap Dika sambil mengetuk pintu. Setelah terdengar jawaban, seseorang membukakan pintu. Orang itu menanyakan maksud kedatangan Dika, dan langsung mempersilahkan Dika masuk. “ Assalamu’alaikum pak” Dika mengulang salamnya ketika Pak kades muncul dari balik tirai. “ Wa’alaikum salam.. ada apa nak Dika?” jawab Pak Kades. Dika langsung mengutarakan maksud dan tujuannya datang kemari. Pak kades mengangguk-angguk mendengarkan opini yang Dika sampaikan. “ ini pak. Saya membawa surat untuk bapak baca. Dalam surat ini, ada macam-macam kegiatan yang bisa bapak pilih untuk diadakan dalam pesta bangsa ini.” Ucap Dika meyakinkan. Pak Kades langsung membuka surat itu, dan membacanya. “ Hem.. bagus juga ide kamu nak.. tapi, Desa tak punya Dana.” tanggap pak kades yang masih membaca surat Dika tadi. wajah Dika menjadi lemas tak ada senyum menghiasi wajahnya lagi. “ Pak. Saya rasa anak-anak yang sudah cukup usia banyak. Dan masalah uang, biar saya yang cari pak.” Suara Dika bergetar. Sejenak hening. Pak kades hanya terbelalak melihat tekad Dika yang amat kuat ini. Mungkin beliau baru melihat satu anak di kampung ini yang ternyata memiliki rasa cinta terhadap tanah air yang amat besar. Mungkin karena ini juga, akhirnya Pak Kades menyetujui ide Dika untuk masalah dana, Dika yang akan mengeluarkan. Tak hanya itu, Pak kades membebaskan Dika merancang kegiatan ini sendiri. Seketika wajah Dika cemerlang lagi. bak mentari yang baru saja muncul di awal hari. Ia mengucapkan ‘terimakasih’ berkali-kali sebelum pulang kerumah.
Dijalan pulang Dika terdiam sambil sesekali membaca surat yang ia buat tadi. Dika Nampak bingung, sekaligus gembira. Tentu saja ia senang telah mendapat izin untuk menyelenggarakan ajang perayaan ulang tahun bangsanya untuk pertama kalinya. Namun, banyak hal yang Dika masih harus fikirkan. Dia butuh banyak uang untuk membeli properti-properti yang diperlukan. Artinya, dia harus bekerja untuk mwncari uang. Padahal mana ada pekerjaan yang bisa dilakukan anak 11 tahun? Yang bisa ia lakukan selama ini, tak lebih hanya mencangkul, memotong kayu, dan mengumpulkan kayu bakar. Itupun, hasilnya tak seberapa. Uang yang bisa dikumpulkan tiap harinya, paling banyak hanya 5000 rupiah saja. Dan tentu, Dika selalu menyerahkan hasil kerjanya itu kepada ibunya untuk belanja sehari-hari. Jadi, selama ini Dika tak pernah punya uang. Apa lagi tabungan.  Sekarang, yang ada dikepala Dika adalah.. bagaimana cara mendapat pekerjaan yang lumayan menghasilkan agar cukup untuk mengadakan kegiatan ini.
Dika berjalan melantur. Pikirannya kemana-mana. Bahkan ia telah melewati rumahnya sejauh 500 meter. Pikirannya kacau. Ia baru benar-benar sadar saat melewati sebuah warung sembako satu-satunya di kampung ini. Mungkin ia sudah biasa melewati warung ini. Namun, kali ini ada yang berbeda. Sebuah mobil pickup berhenti di depannya. Mobil ini Mungkin pengirim stock. Pikir Dika. Awalnya, Dika mau melewati warung ini begitu saja. Namun Bu Nani, pemilik warung menegurnya. “ Nak Dika! Sedang apa disitu? Di suruh ibu belanja?” Dika tersenyum sebentar, kemudian menjawab. “ Tidak bu. Saya sedang cari pekerjaan.” Dika menambahkan senyum diwajahnya. “ Lho.. memang butuh untuk apa nak? Kalau pekerjaan.. mungkin ibu punya untukmu. “ tanya Bu Nani lagi. Dika yang tertarik, langsung berlari ke dalam warung ibu Nani. “ Sungguh bu? Begini, Dika butuh pekerjaan untuk cari dana kegiatan tujuh belasan bu.” Tutur Dika jujur. Sekilas, Bu Nani nampak bingung. Mungkin karena beliau tak pernah mengetahui istilah tujuh belasan. Buru-buru, Dika menyodorkan sebuah amplop dan potongan korannya. B Nani pun membacanya dengan sungguh-sungguh. “ wah bagus juga idemu nak.. baik. Ibu akan bantu kamu. “ tanggap Bu Nani sambil mengangguk-angguk pelan.dengan antusiazme tinggi, Dika mendengarkan pekerjaan apa yang akan ia kerjakan dari Bu Nani. Rupanya, Bu Nani hanya menyuruh Dika mengambil stock sembako di desa sebelah denga mengendarai sepeda. Bu Nani juga bilang, jasa pickup pengantar mahal sekali. Untuk menghemat pengeluaran, Dika dipekerjakan sebagai kurir prngambil stock. Walau jauh, namun jika naik sepeda, pasti akan menyenangkan. Teriak Dika saking gembiranya. Bu Nani tertawa melihat tingkah Dika yang seperti anak Bayi baru bertemu ibunya. Bu Nani kemudian menyuruh Dika pulang, dan mengatakan bahwa Dika bisa mulai kerja besok.
Wajahnya tak lagi murung, kini ia kembsli tersenyum. Kini senyumannya sehangat lembayung sore itu. Dia berjalan dengan gembira. Bahkan sesekali ia melompat berirama. Belum pernah ia merasa segembira ini. Dika smpai dirumah sudah hampir maghrib. “ Dika.. kamu sejak pagi belum makan kan? “ tegur Ibu yang sedang membereskan meja makan. “ nanti saja bu. Dika sedang bikin rancangan.” Jawab Dika singkat, sambil melempar senyum lebar ke arah ibunya. Dika memilih untuk mandi terlebih dahulu, kemudian langsung mengunci diri dikamar. Berpedoman majalah dan potongan korang yang masing-masing berisi artikel perayaan hut RI, Dika mencoba mengonsep acaranya tersebut. Ayah dan Ibu sama-sama bingung dengan sikap anak semata wayangnya hari ini. Dari pagi, ia sudah pergi. Pulang maghrib. Namun, Ayah akhirnya mengerti juga apa yang sedang terjadi pada Dika. Beliau mengintip lewat lubang pada pintu kamar Dika yang cukup besar. Rupanya, beliau juga berhasil menyimpulkan bahwa Dika telah mendapat izin dari Kades untuk mengadakan acara perayaan.
Pagi nan cerah, segar, dan ceria telah datang. Dika tak mau terlambat dihari pertamanya bekerja. Ia mandi lebih awal, memakai baju terbaiknya, dan menggendong ransel tua milik ayahnya yang kini menjadi miliknya. Setelah sarapan pagi Dika segera pamit kepada kedua orang tuanya. “ yah.. bu. Dika mau berangkat kerja. Mulai hari ini, Dika kerja di warung Bu Nani. Dika sedang cari uang untuk mengadakan acara tujuh belasan.” Jelas Dika singkat namun lengkap. Walaupun awalnya ayah dan ibunya sedikit kesal karena anaknya yang disuruh mendanai acara tersebut, namun mereka berdua setuju dengan alasan Dika. Dika berkata, bahwa yang penting. Ada perayaan. Semangat Dika memang tak pernah surut. Selalu berkobar-kobar membakar apa saja yang menghalanginya. Dika sangat senang melihat kedua orangtuaya juga setuju bahwa perayaan ini penting. Ia mengembangkan senyumnya sepanjang jalan.Ia tersenyum terus sampai di sebuah rumah ber cat biru. Inilah warung sembako Bu Nani. “ Assalamu’alaikum Bu..” Dika memberi salam sambil mengetuk pintu. “ Wa’alaikum salam.. eh sudah datang.. rajin sekali kamu nak. “ Bu Nani keluar sambil menyunggingkan senyum bulan sabitnya. Biasanya, orang-orang memang menjuluki Bu Nani sebagai Ibu senyum sabit. Ya lantaran senyumnya seperti bulan sabit. Sangat indah. Bu Nani langsung mengeluarkan sebuah sepeda tua yang akrab disebut ‘pit kebo’ dan memberikannya kepada Dika. Setelah diberi arahan, toko mana saja yang akan ia datangi, Dika mengucapkan terimakasih, dan langsung berangkat mengayuh sepeda ‘kebo’ tadi ke arah barat. Menuju Desa sebelah. Baru kali ini, Dika keluar dari Desanya dan mengunjungi desa sebelah.
Berat sekali memang menempuh 20 km dengan sepeda onthel tua yang sudah karatan rantainya. Apalagi, kala itu mentari melakukan tugasnya dengan sangat baik. Sang dewa kehangatan ini, memberikan lebih dari sekedar kehangatan. Melainkan ia beri bumi ini panas terik yang sangat menyengat dikulit. Tak hanya Dika yang menderita, ban sepeda pun memuai terlalu besar. Sedikit-sedikit, Dika harus rela berbagi bekal airnya kepada Ban sepeda. Dika tak mau menuntun sepeda ini sampai ke tukang ban. Jadi dia korbankan bekal minumnya untuk sesekali menyiram ban sepedanya. Haus, kering, panas, gosong. Itu yang Dika rasakan saat ini. Jalanan sepi. Jarang sekali ada yang mau mengunjungi desa Dika yang terpencil jauh dari peradaban. Setelah menempuh waktu lumayan lama, Dika sampai juga di desa tetangga yang namanya, Desa Maju Rame. Sesuai namanya, Desa ini jauh lebih maju, dan ramai dibandingkan Desa Dika. Bahkan, Dika sejenak berhenti tercengang melihat aktivitas warga setempat yang beragam.. “ wah aku harus ke toko pak Somad. Kata bu Nani, tokonya dikiri jalan, dan ada tulisannya. Nah itu dia.” Gumam Dika sambil menuju kesebuah toko diujung gang. Ia segera memarkirkan sepedanya, dan membeli barang sesuai dengan yang ada di daftar. Semua barang yang dimingta Bu Nani sudah lengkap, dan sekarang saatnya pulang.
Dika sengaja melewati jalan memutar saat pulang. Ia ingin melihat suasana desa itu dengan seksama. Ia sangat tertarik dengan desa tetangganya ini. Tak sengaja, Dika melewati sebuah tanah lapang di desa ini. Suasananya amat meriah. Bernuansa merah putih disana-sini.banyak bendera kecil-kecil digantung dijalanan, jalan-jalan dicat putih,  masing-masing rumah memiliki tiang bendera yang seperti kantor kades didepan rumahnya, dan lampu-lampu jalan yang tak kalah berwarna merah-putih. Di tanah lapang ini, Dika melihat banyak anak-anak berkumpul disana. “ wah apa mereka.. sedang mengadakan lomba? Ini kan baru tanggal sebelas.. kenapa? Sudah mulai lomba?” Dika tercengang kagum melihat pemandangan ini. Maklum saja, dia belum pernah melihat kegiatan semacam ini secara langsung. Lama sekali Dika menikmati tontonan ini. Ia hampir lupa kalau harus kembali ke warung Bu Nani. Untung saja dia teringat. Dika langsung menggowes sepedanya menuju Desa tempatnya tinggal.
Perjalanan pulang tak seberat tadi. Langit sore yang teduh dipadu dengan angin sejuk membuat pipi Dika terasa dingin. Namun, ini lebih baik daripada tadi siang. Fikir Dika. Benar saja bahwa perjalanan pulang biasanya lebih cepat dari berangkatnya.  Rasanya baru sebentar, tau-tau.. sudah sampai di depan warung Bu Nani. Sampai di sana, Dika langsung memarkirkan sepeda bu Nani di halaman, masuk membawa barang-barang, dan langsung menerima upah. Upah yang didapat lumayan. Bisa ditabung. Kalau tiap hari dapat segini, seminggu lagi.. pesta siap digelar.. Dika berlari pulang dengan gembira.
Hari demi hari berlalu.. tanggal demi tanggal berganti dengan cepat. Coretan di kalender Dika sudah hampir menyentuh angka tujuh belas. Rupiah demi rupiah terkumpul. Sudah saatnya untuk belanja! Dika bangun lebih awal pagi ini. Ia berangkat menuju warung bu Nani, tapi bukan untuk bekerja. Melainkan untuk membeli properti lomba. Setelah semua dirasa cukup, Dika berlari ke sebuah lapangan disamping rumah kades. Ia segera memasang semua properti. Mulai dari alat-alat lomba, bendera-bendera disekeliling lapangan, sampai memberi warna pada tepi lapangan dengan warna putih. “ Nah.. sudah siap.” Ujar Dika puas sambil tersenyum lebar melihat hasil usahanya. Namun tinggal dua hari lagi hari H nya. Sampai sekarang belum ada yang mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba-lomba yang sudah disediakan. Dika pun merasa kesulitan untuk menggugah semangat warga yang sudah mati.
Esok paginya masih sama. Sepi, sunyi tak ada kabar yang mau mendaftar lomba. Namun sesuatu yang luar biasa sepertinya baru terjadi pada tanggal 16 Agustus, pukul 07.30 pagi itu. Ayah Dika yang tengah menikmati udara pagi sambil meminum kopi hitam biasanya. Mata Ayah terbelalak heran melihat rombongan warga berbondong-bondong menuju rumahnya. Rombongan warga itu masing-masing membawa koran. Namun tak seperti rombongan yang marah. Ayah pun memberanikan untuk bertanya. “ Nak! “ teriak ayah memanggil Dika. Tergagap, Dika berlari ke asal suara. Awalnya, ia mengira para masa marah karena dekorasi lapangan kemerdekaan yang ia buat. Namun ternyata, salah satu orang maju sambil membuka halaman depan koran yang bertuliskan. “ SEMANGAT HUT RI TAK PADAM DI PELOSOK “. Yang membuat Dika tercengang bukan judulnya, namun foto yang dimuat dibawah judul itu. “ Masya Allah yah! Ini foto Dika kemarin. Siapa yang mengambil nya ya yah?” sahut Dika sambil menengadah ke Ayahnya. Ayah hanya mengangkat bahu sama-sama bingung. “ Saya Dika yang mengambil fotomu.” Suara besar yang sudah tak asing di telinga Dika terdengar dari pojok halaman. Dika langsung menghampirinya. Sosok yang selalu memberi ilmu, menjadi pembawa kabar, pengenal dunia pada Dika. Sosok bertopi biru, berbaju biru, dan motor biru serasi. Sosok Loper koran yang ternyata sangat memperhatikan Dika tiap harinya. Kini, ia juga yang membuat Dika dan Desanya dimuat di halaman utama koran nasional. “ Terimakasih Pak! “ teriak Dika sambil memeluk loper koran ini dengan erat.
Setelah kejadian pagi itu, pada siang hari sampai malam, ada saja yang mendaftar mengikuti lomba. Entah mengapa mereka menjadi berubah. Percaya atau tidak? Koran tadi sangat berjasa. Bagaimana tidak? Banyak stasiun TV yang ingin meliput kegiatan HUT RI disitu. Rencana Dika sukses besar. Bahkan keadaan desanya semakin maju setelah kejadian ini. Kini, tiap tahunnya, rutin diadakan perayaan HUT RI.

Kamis, 02 Agustus 2012

Traditional Story.. let's enjoy :)


Timun Emas
In ancient time, there lived a widow as farmer. Her name is Mbok Rondo. She usually was planting a plant on the rice field beside her house. On time, Mbok Rondo was planted some seeds of paddy. Suddenly, a big monster walked came to her.
Buta Ijo               : Are you Mbok Rondo?
Mbok Rondo          : Y-y-yes.. I-I’m Mbok Rondo. What do you need?
Buta Ijo               : Don’t be afraid! I need your help mbok. Listen! I know you haven’t a child, and now I will give you, but when child has grow up, you must give back to me! And, don’t ever to protect the child when I back 13 years next!
Mbok Rondo         : But, where is the child now?
Buta Ijo               : This is!
Mbok Rondo         : What your mean? What is it?
Buta Ijo               : This is cucumber seeds. Plant it! And, when the cucumber is grow, you take the big one. Split carefully and will find the baby. That is the child.
Mbok Rondo         : Y-Yes..
Buta Ijo               : I will go home now! Don’t forget to plant!

Then, Mbok Rondo plant the cucumber seeds in front of the house. And she wait for the cucumber grow up. Mbok Rondo surprised with the cucumber has grow up quickly.
Mbok Rondo         : Wow!! What happened?? It is very quickly!! Knife! The big one? The big one? Yes.. yes.. This is it!! Wait.. wait honey! You will out later.. Yeah.. carefully.. carefully .. cleave now.. ok.. nooowww..
Timun Emas         : Oek,, oek..
Mbok Rondo         : Wow.. baby! What your name? Oh.. ok.. You was born from the cucumber. Yeah.. ok baby.. I will give you name Timun Emas

Timun Emas has grow up. She was been a beautiful and cheerfully girl. She always helped Mbok Rondo every day.
Timun Emas         : Mom, I have planted all seeds. What should I do now Mom??
Mbok Rondo         : Oh.. OK, Timun, thank you. We take rest now Timun?
Timun Emas         : Yes, ok Mom..

Then, Timun emas and Mbok Rondo rest at their house. When they take a lunch, they heard a footstep of Buta Ijo. Then, Mbok Rondo open the door.
Buta Ijo               : Mbok Rondo! Where is the cucumber? Give to me now! Now!
Mbok Rondo         : But-but! She was go out. Please you come again tomorrow, Buta.
Buta ijo                : Ok.. I will back tomorrow. If she go out again, I will kill you and eat you! HAHAHA..

Mbok Rondo close the door. Then , she fill in on Timun Emas about her meeting with Buta Ijo.
Mbok Rondo          : Timun! Timun! Listen to me please!
Timun Emas         : Yes Mom?
Mbok Rondo         :  Timun, Tomorrow, early morning, You must go out. Sorry Timun, I never tell you about…
Timun Emas         : Tell? Tell What Mom??
Mbok Rondo         : 13 years ago, you was born from the cucumber. And that cucumber is a gift from Buta Ijo.
Timun Emas         : Buta? Buta Ijo?
Mbok Rondo         : Yes! Buta Ijo! He asked me for keep you and when you 13 years old, I must give back to him.
Timun Emas         : Hahh? But, for what mom?
Mbok Rondo         : Of course, for his dinner!

She Timun Emas  : Me? Me Mom? To his dinner?
Mbok Rondo         : Ssts! Of course I will protect you! Silent please! Ok.. Tomorrow.. you really really must go out!
Timun emas          : But Mom, where I going?
Mbok Rondo         : Listen! Run ! run ! and run ! don’t stop! Because the footstep of Buta is catched  5 meter. This it. You must bring it! You just throw it to Buta, if you need a help
Timun Emas         : Oh.. Ok Mom..

On the next morning.
Buta Ijo               : Dum.. Dum.. Dum..
Mbok Rondo         : Timun.. Timun.. Listen! That is the footstep of Buta. You must go out now! Go ! go ! go !

Timun running, but Buta see Timun when Timun running from the house and go out.
Buta Ijo               : Is it she? Hey! Please wait! Are you the child?
Timun Emas         : Ahh!!!.. must run! Run ! run !
Buta Ijo               : Hey you.. wait!
Timun Emas         : Ahh!! Go away, go away! Don’t follow me!! Go away ! go away!
Buta ijo                : I will follow you wherever you go! Huahahaha
Timun Emas         : haaaaaaaahh… aaaaaaaaaaa..
Timun Emas take a purler, and she was panic, because Buta so close from her.
Buta Ijo               : Hahahhaa..
Timun Emas         : Ahha!! ……………………… SALT!!! This for you!
Buta Ijo               : AAAAAAAA……… What is it?? My eyes! My eyes! Arghh !! Insolent!!
Timun Emas         : Yeeyy!! Won out!
Buta Ijo               : Where are you now! Where are you Timun!
Timun Emas         : I’m here! I’m here! Come on.. come on.. anddd,, bye!!!
Buta Ijo               : Hey !! Timun!! Wait! Wait! If I get you, I will eat you!!
 Timun Emas runs keep away from Buta Ijo. Timun run to the jungle. Buta ijo can find Timun Emas because her smell
Buta Ijo               : Hey little cucumber!! Where are you.. yuhuuu!! Hmm.. your smell!! I can catch you! It is fixed !
Timun Emas         : Ahh silent.. silent..  ahhaaa.. I remember that ! Needle!  Buta ijo!! Its just needle!
Buta Ijo               : What’s your mean, needle? Wha.. awwww.. it’s bramble… Nooo.. 
Timun Emas         : yes, it’s worked! Ok.. run again!!
Buta Ijo               : Hey! Bad cucumber! Wait me! If I can catch you, I will direct to eat you!
Timun Emas         : No, you can’t. I will made first to kill you!
Buta Ijo               : Oh.. mom.. I’m scared.. No!! I made first!

Timun run for it. Buta run after, to catch Timun Emas. But, Buta lost track of Timun.
Buta Ijo               : Hey cucumber.. where are you??! Your smell, your smell.. hmm.. haa! I know you reside at that tree.
Timun                   : Oh.. no no no.. it’s still exist one! I wish this can save me. Yes, terasi! Hey Buta! This terasi for you!
Buta Ijo               : What? Terasi? What’s the good of it?? Hahaha.. haa.. oh no! No! No! what is it?? No!! No!! Cucumber! What are you doing for me? Nooo!!
Timun Emas         : Hah?? Amazing!! It’s very nice! I did it! Yeah! I did it!


satu lagi CerPen yang mungkin masih kurang baik :)


Apa Ikhlas itu Mudah?
Oleh : Ayuta puspa citra z.

                “Duh.. bisa bangkrut kalo’ gini terus...”keluh Vinta. “ada apa,, tho Vinn..” sahut kak Tera yang mendengar keluhan Vinta dari kamarnya,ia langsung masuk kamar Vinta. Ternyata,Vinta sedang menghitung koleksi buku di perpustakaan pribadinya. “ada apa sihh Vin?” tanya kak Tera memperjelas, “ini lhoo kak bukuku hilang lagi gara-gara banyak yang pinjem...” jawab Vinta dengan sedih,ya Vinta memang memiliki sebuah ruang dekat kamarnya,yang ia gunakan untuk menaruh koleksi buku-bukunya yang cukup banyak ,tapi walau pada awalnya dia senang meminjamkan bukunya pada teman-temanya,sekarang tidak lagi lantaran banyak yang nggak mengebalikan bukunya. “lha kemarin kamu pinjamin siapa?”tanya kak Tera mencoba menyelidiki.” Nggak tau kak aku lupa.. habiss waktu itu banyak banget yang minjemm jadi nggak sempet ku catet..” sesal Vinta,”memang ada berapa buku yang hilang? Tanya kak Tera lagi.”hmm... sekitar LIMA buku kak...” adu Vinta.”hmmm... anak mama udah pada bangun,yuk cepet sarapan mama udah beli bubur ayam di pasar.” Ujar mama yang tiba-tiba masuk kamar Vinta. “hmmm.. mau donkk !!! “ teriak Vinta dan kak Tera bersamaan. “yuk mama siapin dulu ya..” kata mama seraya berjalan ke dapur.
            “Hm... enak banget,ma.. pasti bubur ayam mba’ Nana ya...” ujar kak Tera. “idihh sampe’ hafal? “ tanggap Vinta setelah melahap sesendok bubur. “sudah makan aja.. nanti buburnya keburu dingin lho.. “ mama menengahi.” Hmm... pa,aku boleh minta uang?” tanya Vinta tiba-tiba. “lho buat apa?” tanggap papa sedikit kaget.”iya buat apa tho Vinn? ,kan masih liburan jadi nggak perlu uang saku kan? Mama ikut menanggapi. “ hmm.. gini Vinta itu pingin bikin persewaan buku..,ya semacam rental buku ma.. pa...”jelas Vinta.”emangnya mau bikin rental buku dimana?” tanya kak Tera sambil meneguk segelas air, “iya.. ruang di rumah kita sudah habis,kalau pakai ruang baca kamu,kan nggak mungkin. Itukan dibawah tanah..” ujar papa menerangkan,mama hanya mengangguk sambil tersenyum...” iya juga ya... hmm pa,ma gimana kalau kita bikin rumah diatas pohon buat rental?” tiba-tiba Vinta dapat ide.”hmm.. tapi bukannya banyak buku kamu yang hilang,kalo di pinjem-pinjemin?” kakTera mengingatkan. “iya juga ya kak..  tapi....” kata-kata Vinta terputus.”hmm.. kalo soal itu.. menurut mama,lebih baik yang mau rental,harus punya kartu anggota,yang artinya harus mendaftar sama kamu dulu gimana?” usul mama “nah gitu siip ma.. tapi boleh ya..pa bikin rumah pohon,” rengek Vinta ke papa,”ya... boleh deh,nanti papa bilang pak Amar buat bikin rumah pohon diatas pohon depan itu ya?”  jawab papa mengiyakan. Mendengar itu semuanya tersenyum gembira dan seusai makan papa menepati janjinya untuk segera membangun rumah pohon.
            Tiga hari kemudian rumah pohon pun jadi, Vinta dan kakaknya sibuk menata buku-buku ke dalam rak,sesekali mama naik untuk melihat aktivitas kedua anaknya.” Hm.. jadi juga punya rental buku..” ujar Vinta bangga kakaknya hanya tersenyum melihat adiknya. Esoknya rental itu mulai dibuka, Vinta dan kakaknya berjaga di meja kasir, bi mina membantu merapikan buku dan mengelap rak,tak lama setelah tanda “CLOSED” diubah menjadi “ OPEN” banyak sekali pengunjung yang menaiki dan masuk rental buatan Vinta itu. “Hmmm.. banyak juga ya kak..,” ujar Vinta ketika toko sudah hampir tutup. “ iya tapi kamu dah catat semua data kan Vin?” tanya kak Tera meyakinkan.Vinta mengangguk mantap. Hari pertama mereka lalui dengan gembira,lantaran mendapat banyak uang.
            Seminggu sudah Vinta menjalankan usaha rentalnya. Dan tiap hari ia dan kakaknya selalu mendapat peningkatan hasil, mama dan papa juga bangga.tapi suatu hari ketika semua buku seharusnya sudah kembali ke rak,ada satu buku yang hilang dan buku itu merupakan buku novel kesukaan Vinta.”Oh NO..... kakak!!!” teriak Vinta ketika mengetahui hal itu,saat itu Vinta sedang menghitung buku di rak novel. “ada apa sih Vin?” tanya kakaknya yang segera menghampiri Vinta. “ aduhh kak novel HORIRI si bocah sihir ku hilangg... itu novel kesayanganku...” adu Vinta ke kakaknya.”lho kok bisa? Coba cek dibuku peminjam” usul kak Tera “nggak ada yang pinjem ko’kak”jawab Vinta .kak Tera melapor ke papa dan mama,mendengar hal itu,akhirnya papa memutuskan untuk menutup rental buku Vinta,dan mencoba menasehati Vinta yang terus menangis di kamar.” Vin,coba untuk ikhlas, mulai besok papa mau menutup rental bukumu ya..” nasehat papa membuat Vinta sedikt kecewa karena sebenarnya Vinta hanya mencari hiburan untuk mengisi liburannya. Kak Tera yang mendengar perkataan papa langsung protes” nggak pa. Jangan ditutup mending kita sulap aja rental buku itu jadi....” ujar kak Tera misterius “jadi apa kak?” tanya Vinta yang penasaran.”jadi perpustakaan sosial,pengunjung jika pinjam buku nggak bayar tapi nggak boleh dibawa pulang,gimana?” usul kak Tera meneruskan papa,mama,dan Vinta saling berpandangan dan kemudian mengangguk sambil tersenyum tanda setuju.

            “nah kalo gini kan jadi nggak mungkin hilang.. hehehe” tawa  kak Tera bangga. Benar  saja sejak itu tak ada buku yang hilang lagi, walaupun tak ada hasil uang tapi setidaknya tetap bisa beramal dan mengisi waktu liburan,tak hanya itu, kita juga bisa belajar bersosialisasi kepada sesama dan tak lupa bisa belajar ikhlas. Ya... ikhlas dalam mengikhlaskan buku yang sudah hilang, juga ikhlas meminjamkan buku tanpa ongkos kepada masyarakat,agar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.. ya,khan hehehe... dan ternyata ikhlas itu mudah ,malah bisa menguntungkan diri kita sendiri.

enjoy this CerPen :)


Terimakasih Mas..
Oleh   : Ayuta Puspa Citra Zuama
“ Sebaiknya kamu belajar saja, dan jangan ganggu Mama dulu ya.” Kalimat ini selalu berhasil membuat telinga Meta menjadi merah panas. Ia selalu menggerutu, masuk kamar dan membanting pintu ketika mendengar kalimat tadi. “ Kenapa sih Mama. Setiap aku ingin bertanya, selalu saja... tak boleh. Inilah, itulah, janganlah, belajar saja sana. Benar-benar menyebalkan. Apa dulu Kak Tika dan Mas Rangga juga mendengar hal yang sama? Juga mengalami hal yang sama sepertiku? “ gumam Meta yang sangat gusar mendengar kalimat tadi. Meta adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, usianya cukup terpaut jauh dengan kedua Kakaknya. Kakak pertamanya, bernama Tika. Sekarang Kak Tika sudah bekerja menjadi pegawai sebuah Bank swasta yang cukup terkenal. Sedangkan Kakak keduanya, namanya Rangga. Seorang kakak laki-laki yang sedang duduk dibangku kelas tiga SMA. Meta sendiri masih duduk di kelas dua SMP.
Meta lahir dikeluarga yang cukup berada. Namun, dia malah sering mengeluhkan hal ini. “Ah daripada dicuekin gini. Mending Mama nggak usah kerja aja. Bukannya cukup ya? Kalau Papa aja yang kerja?” begitu keluhnya kepada Mama yang tak kunjung menoleh untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Meta. Dia semakin kesal ketika mengetahui Mamanya yang tak memperhatikannya sedikitpun. Mamanya selalu merespon keluhannya itu dengan kata-kata yang hampir sama, “ Oh.. ya Meta. Ada apa? Maaf, baru saja rekan kerja Mama telpon.” Begitu mendengar ini, Meta masih sedikit bersabar, dan baru ingin membuka mulutnya untuk menanyakan soal yang tidak ia ketahui. Namun... telepon ditangan Mama kembali berdering, dan segera diangkat oleh Mamanya. Meta kembali disuruh meninggalka Mamanya dengan sekali lambaian tangan. Papanya selalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja. Tak jauh beda dengan Mamanya, Papa Meta lebih sibuk dan tak mengeluarkan sepatah katapun ketika Meta bertanya. Jadi, lebih tepatnya Meta tak pernah berusaha untuk bertanya kepada Papanya repot-repot. “ Okay.. Okay.. My Supper Busy Dad!! “ teriak Meta sambil keluar dari ruangan pribadi Papanya. Sedangkan Kak Tika sudah memunyai rumah sendiri, dan tidak tinggal bersama Meta lagi dirumahnya. Sedangkan Mas Rangga juga sibuk dengan belajar dan jadwal bimbingan belajarnya setiap hari. Sebentar lagi dia akan menghadapi Ujian Nasional tingkat SMA. Yang membuat Meta sulit bertanya kepada Kakaknya itu karena Mas Rangga sendiri sering pulang larut malam.
“ Aaah... gimana sih caranya hitung ini?!” gumam Meta sambil membiarkan buku latihannya menutupi wajahnya yang sudah kusut minta ampun. Ia rebah di tempat tidurnya dengan pasrah karena tak ada yang bisa diharapkan dirumah ini. Sekiranya begitulah yang sedang Meta pikirkan. Ia masih bertanya-tanya bagaimana cara memecahkan soal nomer 3 di buku latihannya yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan besok pagi. “ Besok pagi sajalah. Tanya Tania aja. Hoam... aduh.. ngantuk banget. Tidur aja deh.” Ujarnya sambil memasukkan buku-buku kedalam tas sesuai jadwal.
Esoknya, seperti biasa Meta diantar Mas Rangga ke sekolah dan segera bergegas ke kelasnya untuk menanyakan Soal yang kemarin pada temannya. Untungnya Tania, sahabatnya itu mau menerangkan dengan jelas soal yang tidak ia mengerti. “ Aduh.. makasih ya Tan.” Ujar Meta berterimakasih. “ Iya Met, sama-sama. Yuk duduk, bentar lagi Bu Kirana masuk.” Jawab Tania, mereka berduapun duduk dibangku masing-masing. Benar saja. Tak lama kemudian, guru Fisika mereka, Bu Kirana masuk kekelas. Pelajaranpun dimulai.
“ Anak-anak ini ada surat undangan untuk orangtua, dan usahakan salah satu dari mereka datang ya.” Pesan Bu Rosa yang baru saja masuk sambil membagi satu persatu surat kepada semua anak. “memangnya kenapa harus datang Bu?” tanya Meta sambil mengacungkan tangannya. “ Undangan ini, menyangkut konsultasi, dan penyampaian hasil belajar kepada orang tua kalian. Ada apa? Apa orangtua kamu tak bisa datang?” jawab Bu Rosa sekaligus bertanya.” Oh, tidak bu. Mungkin mereka bisa datang.” Jawab Meta sambil menunduk ke bawah Meta jelas berpikir, bagaimana bisa orangtuanya yang super sibuk itu mau datang ke acara yang bisa dikesampingkan seperti ini. “ Baiklah. Pokoknya, usahakan mereka bisa datang ya. “ pesan Bu Rosa mempertegas lagi sebelum kemudian pergi untuk memberikan surat ke kelas yang lain. Dia juga menundukkan kepala ke Bu Kirana, tanda berterimakasih karena telah mengizinkan dirinya untuk memotong pelajaran.
“ Met. Kenapa sih kamu? Kamu pasti masih mikirin undangan yang tadi ya?” tanya Tania kepada Meta yang masih duduk melamun dibangkunya. “ iya nih Tan. Aku yakin Papa sama Mama pasti nggak bisa dateng deh.” Tutur Meta dengan murung. “ Bukannya kalau nggak dateng itu.. nggak apa-apa?” ujar Tania mencoba menenangkan. “ Apanya yang nggak papa sih Tan?” ujar Meta tambah putus asa. “ Acara ini hanya konsultasi orangtua dan pemberitahuan hasil belajar siswa. Dan aku yakin hasil belajar kamu udah baik, malah yang terbaik. Jadi.. kalau orangtua kamu nggak dateng.. nggak akan ada masalah.” Kata Tania berharap ia dapat menghibur hati sahabatnya itu. “ Tapi.. rasanya aku tuh udah.. nggak penting lagi Tan. Aku ini kalah sama pekerjaan Papa-Mama ku yang aku sendiri nggak mau tahu.” Keluh Meta yang tetap masih murung. “ Eh.. kamu nggak boleh gitu Met.. apapun pekerjaannya, itulah yang membuatmu bisa sampai seperti ini. Apalagi aku yakin pekerjaan orangtua kamu itu sangatlah bagus dan sangat sulit.” Tania menanggapi. “ Iya sih Tan. Tapi, kalau sampai sesibuk ini, aku juga nggak mau. Mending miskin tapi tenteram dan di sayang deh!” keluh Meta lagi. “ Ah.. jangan gitu Met. Nanti kesampaian nyesel lho.” Lagi-lagi Tania menanggapi dengan bijaksana. “ Ya udah Met. Yang penting, nanti kamu kasihin undangan itu, dan kamu bilangin pesan Bu Rosa tadi. Kalau masalah datang enggaknya.. biarin orangtua kamu aja yang mutusin.” Kini Tania mencoba menyarankan. “ Tapi.. kalau Mama-Papa nggak datang buat pertemuan kali ini, aku nggak akan mau bicara lagi sama mereka.” Kata Meta setengah berteriak dengan berang. “ Jangan begitu ah. Nggak boleh Met.”  Tania masih mencoba menasihati sahabatnya, namun Meta selalu tak pernah mau mendengarkannya.
Orangtua Meta, memang bisa dikatakan tak pernah menghadiri segala rupa bentuk undangan dari sekolah manapun. Tapi mungkin yang mempermasalahkan hal ini hanya Meta saja. Mas Rangga yang nasibnya sama dengan Meta tak pernah menganggap hal ini sebagai masalah besar. Meta selalu iri dengan teman-temannya yang mendapat perhatian Orangtua mereka masing-masing. “ Eh Met. kamu mau kerumahku nggak?” tanya Tania setelah bel pulang berbunyi. “ hmm.. iya deh. Aku bosen dirumah, nanti sekalian ajari aku fisika ya Tan. “ Jawab Meta sambil membereskan mejanya, bersiap untuk pulang. “ iya.. pasti. kebetulan Ibuku tadi bilang, mau bikin kue. Nanti cobain ya..” kata Tania yang juga sedang memasukkan buku tulis berwarna hijau muda kedalam tasnya. “ Waah.. asik tuh. Langsung pulang ya.” Ajak Meta yang sudah selesai membereskan barangnya lebih dahulu dibanding Tania. Tania mengangguk. Kelas ditutup, Lala memimpin do’a pulang, dan semua siswa memberi hormat kepada Pak Kusuma yang mengajar mata pelajaran terakhir untuk hari ini. Tania, dan Meta berjalan menuju rumah Tania yang tak jauh dari sekolah.
“ Selamat Siang Tante.” Sapa Meta sambil mencium tangan Ibunya Tania. “ Eh.. Meta. Ayo masuk,Tante sudah bikinkan kue enak. Kamu coba ya Meta.” Ajak Ibunya Tania sambil masuk terlebih dahulu. “ Iya Tante terimakasih.” Meta berbasa-basi terlebih dahulu sambil masuk mengikuti tania dan Ibunya masuk. “aah... beruntungnya kamu Tan..Ibumu perhatian sekali. Sepulang sekolah saja langsung disambut gini. Aku? Paling Cuma Bi Inah yang sempet nanya-nanyain. Sedangkan Mama selalu asyik dengan teleponnya. Kemarinpun aku nggak makan malem, dan Mama nggak nanya sama sekali paginya. Jangan-jangan Mama malah nggak tahu kalau kemarin aku nggak makan?! “ Ujar Meta dalam hati. Ia iri melihat perhatian Ibu Tania tadi. “ Ayo Met dimakan. “ Ujar Tania. “ Iya Tan. Wah maaf ya merepotkan.” Jawab Meta. Tania tersenyum dan juga ikut makan kue buatan Ibunya.
“ Tania. Ibu kamu baik banget ya? Dia.. mau bikinin kue juga. Kalo mama aku...mana mau dia..” kata-kata Meta terpotong. “ Eeh Met.. jangan dibanding-bandingin dong. Ibu aku bukan wanita karier, dia santai dirumah. Nggak ada kerjaan, jadi ya sempet kalau Cuma masak kue. Sedangkan Mama kamu.. aku tahu. Beliau betul-betul sibuk Met. Jadi emang nggak bisa dibandingin.” Tania kembali menasihati Meta yang nampak mulai iri lagi. “ Iya sih. Tapi kan seenggaknya Mama mau masakin aku Tan.” Ujar Meta lagi. Tania hanya tersenyum. Ia tahu jika dia membahasnya, akan muncul lebih banyak lagi keluhan-keluhan Meta. Memang hanya Tania yang dipercaya Meta untuk bercerita tentang hal yang paling penting sekalipun. Hari itu menjadi hari yang cukup menyenangkan sekaligus sedikit menyakitkan untuk Meta. Meta pulang dijemput Mas Rangga yang baru pulang dari Bimbel dan langsung menjemputnya.
“ Mas.. “ suara Meta saking kecilnya terdengar seperti rengekan. “ ya?” tanya Mas Rangga yang sibuk mengendalikan kemudinya. “ emm.. apa Papa Mama dari dulu sibuk gini? “ tampaknya suara Meta telah kembali. “ ya sebenarnya.. dulu Mama nggak begitu sibuk. Tapi, karena sekarang Bank-nya sudah lebih terkenal, jadi pekerjaan Mama tentu bertambah. Memang kenapa Met?” Jelas Mas Rangga sambil sesekali menengok ke Meta. “ Apa.. mas pikir.. kalau lusa ada pertemuan, Papa sama Mama yang supper dupper sibuk itu mau dateng ke sekolah?” Tanya Meta lagi meminta pendapat Kakaknya. “ Mungkin kok Met.. Mama sama Papa pasti berusaha untuk meluangkan waktu,da bukan nggak mungkin Mama lebih mengesampingkan pekerjaannya yang begitu rumit dengan undangan tadi. “ Jawaban Mas Rangga tampaknya sedikit melegakan hati Meta, ia tersenyum mendengar jawaban kakaknya itu.
“ Ma... ada undangan buat lusa, dateng ya.. kata Bu Rosa harus datang. “ tuntutku langsung saat masuk rumah sambil melambai-lambaikan kertas undangan tadi. Meta sangat riang kali ini. Untuk pertama kalinya, dia optimis Orangtuanya akan datang kali ini. “ Harus datang? Acara apa?” tanya Mama yang tumben peduli. “ Iya Ma. Baca aja.” Senyum mengembang di wajah Meta. “ Waah.. tapi, Mama nggak bisa. Mungkin nanti Mama coba liat jadwal dulu ya. “  kelihatannya jawaban Mamanya Meta ini, membuat Meta kehilangan optimisnya. Seperti biasa, dia pergi dan membanting pintu kamarnya tanpa perasaan. Mama hanya mengangkat Bahu, meletakkan kertas undangan, dan kembali sibuk didepan komputer. Mas Rangga yang dari tadi menonton, merasa iba dengan adiknya itu. “ Mama kenapa sih?” ujar Mas Rangga saat melewati tempat Mama sedang bekerja.
“ Dek..? Mas Masuk ya. “  Mas Rangga mengetuk pintu kamar Meta dengan pelan. “ ya.” Jawab Meta singkat. “ ada apa Mas?” tanya Meta langsung begitu kakaknya sudah duduk di sampingnya. “Maafin Mas ya Met. Mas udah bikin kamu terlalu berharap. Seharusnya Mas tadi nggak bilang kalau Mama akan meluangkan waktunya.” Ujar Mas Rangga dengan tatapan merasa bersalah. “ Iya Mas.. nggak apa-apa kok. Justru aku yang terlalu berharap.” Meta menenangkan Kakaknya. “ Besok, Mas aka ajak kamu sepulang sekolah ke tempat yang belum pernah kau temui dek. Nah sekarang tidur ya..” pesan Mas Rangga yang setelah itu langsung keluar dari kamar Meta.
Meta masih tak mau bicar paginya dengan Mama ataupun Papanya. Ia diantar ke sekolah oleh Mas Rangga seperti biasa. “ Inget lho Met, nanti Mas jemput kamu. “ kata Mas Rangga saat Meta turun dari mobil. “ iya. Iya.. “ Meta berlari masuk dan menemui Tania, serta menceritakan semua tanggapan Mamanya kemarin. Seperti biasa, Tania menasihati Meta dengan Bijaksana dan sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati Meta. “ Waah.. nggak nyangka Met Mas kamu baik juga. “ Tania menanggapi. “ Iya. Aku sendiri juga nggak nyangka kok Tan. “ ujar Meta lagi menceritakan Mas Rangga yang ternyata baik sekali hatinya. Meta memang cukup terhibur dengan kata-kata kaknya kemarin. Hari   ini, dia tersenyum sampai mata pelajaran terakhir selesai.
‘ Tin..’ klakson Mobil Mas Rangga sudah berbunyi nyaring didepan gerbang, Meta berlari menghampirinya. “ Kemana Mas? “ tanya Meta setelah menutup pintu dan menyamankan posisi duduknya. “ Iya. Sabar, nanti juga sampe.” Jawab Mas Rangga santai. Beberapa saat kemudian, mobil yang semula melaju kencang, berjalan memelan... dan semakin pelan. Mobil itu berbelok ke gang sempit nan kumuh dikiri jalan. akhirnya mobil itupun berhenti. Berhenti didepan bangunan yang cukup besar, namun rapuh dan berlumut. Meta tak berani bertanya apa-apa mengenai tempat itu. Mas Rangga kemudian mengajak Meta turun. Meta benar-benar tak habis pikir kenapa kakaknya itu mengajaknya ketempat semacam ini.
Mas Rangga rupanya hanya mau menunjukkan anak-anak yang sedang bermain bola, kelereng, dan lompat tali di halaman bangunan tadi. “ Met.. pandang mereka!, adakah raut sedih diwajahnya?” tanya Mas Rangga sambil tersenyum. “ nggak lah Mas. Mereka itu sedang bermain dan tentu tak sedih.” Jawab Meta polos. “ Met.. mereka semua.. sudah tak mempunyai orang tua.” Jelas Mas Rangga. “Appa! Jadi tempat ini.. Panti Asuhan?” sahut Meta dengan raut wajah kaget. “ iya. Kamu pikir apa? Taman bermain?, mereka sudah tak punya orang tua. “ ujar Mas Rangga mengulangi kalimat yang tadi. “ Lalu?” tanya Meta tanpa berpikir. “ Mereka tak pernah bersedih. Mereka selalu bersyukur. Mensyukuri apa yang ada, dan belajar untuk ikhlas. “ Iya.” Meta menanggapi dengan singkat. “ Oleh karena itu, Met.. kamu harus bersyukur, karena kamu lebih beruntung daripada mereka. Setidaknya kamu masih punya orangtua yang mau membiayaimu bersekolah.” Mas Rangga menasihati Meta. Benar sekali, apapun yang ada memang harus kita syukuri. “ Meta... akan bersyukur Mas. Masih punya Mama dan Papa. Walaupun mereka.. seperti nggak peduli sama Meta. “ ujar Meta “ Mereka peduli Met.” Mas Rangga meyakinkan. “ mulai sekarang, kamu nggak boleh mengeluh, apalagi durhaka membanting pintu keras-keras seperti kemarin. “ Nasihatnya lagi. “ iya Mas. Meta ngerti... Meta Janji nggak akan ngulangi lagi.” Kata Meta Menyesali sikapnya selama ini. Mas Rangga telah membuka hati Meta, Meta telah berjanji tidak akan mengulangi sikapnya yang kurang baik itu. Dia juga tidak akan terlalu memaksa orangtuanya untuk menghadiri undangan kemarin.
“ yuk kita pulang Met.” Ajak Mas Rangga. Meta dan Mas Rangga pulang kerumah. Sampai dirumah, Meta langsung menghampiri Mamanya. “ Ma.. kalau Mama nggak bisa datang juga nggak papa. Terserah Mama aja.” Kata Meta penuh harap Mamanya mendengarnya. “ Oh.. Iya. Besok Mama datang kok Met, kamu tidur aja dah malem sana. “ Jawab Mamanya. Meta senang sekali ... dia berlari ke kamarnya tidak seperti biasa. Meta sudah belajar untuk Ikhlas dan mensyukuri apapun yang ada, dan memegang janjinya dengan sungguh-sungguh. Mas Rangga tersenyum melihat ini. Meta sadar, Mamanya memang seperti itu, dan tak dapat dipaksa untuk berubah. Hari-hari Meta menjadi lebih ceria setelah ia mengetahui makna syukur dalam hidupnya. Walaupun memang kedua orangtuanya tak berubah sama sekali. Terimakasih Mas..