Kamis, 02 Agustus 2012

enjoy this CerPen :)


Terimakasih Mas..
Oleh   : Ayuta Puspa Citra Zuama
“ Sebaiknya kamu belajar saja, dan jangan ganggu Mama dulu ya.” Kalimat ini selalu berhasil membuat telinga Meta menjadi merah panas. Ia selalu menggerutu, masuk kamar dan membanting pintu ketika mendengar kalimat tadi. “ Kenapa sih Mama. Setiap aku ingin bertanya, selalu saja... tak boleh. Inilah, itulah, janganlah, belajar saja sana. Benar-benar menyebalkan. Apa dulu Kak Tika dan Mas Rangga juga mendengar hal yang sama? Juga mengalami hal yang sama sepertiku? “ gumam Meta yang sangat gusar mendengar kalimat tadi. Meta adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, usianya cukup terpaut jauh dengan kedua Kakaknya. Kakak pertamanya, bernama Tika. Sekarang Kak Tika sudah bekerja menjadi pegawai sebuah Bank swasta yang cukup terkenal. Sedangkan Kakak keduanya, namanya Rangga. Seorang kakak laki-laki yang sedang duduk dibangku kelas tiga SMA. Meta sendiri masih duduk di kelas dua SMP.
Meta lahir dikeluarga yang cukup berada. Namun, dia malah sering mengeluhkan hal ini. “Ah daripada dicuekin gini. Mending Mama nggak usah kerja aja. Bukannya cukup ya? Kalau Papa aja yang kerja?” begitu keluhnya kepada Mama yang tak kunjung menoleh untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Meta. Dia semakin kesal ketika mengetahui Mamanya yang tak memperhatikannya sedikitpun. Mamanya selalu merespon keluhannya itu dengan kata-kata yang hampir sama, “ Oh.. ya Meta. Ada apa? Maaf, baru saja rekan kerja Mama telpon.” Begitu mendengar ini, Meta masih sedikit bersabar, dan baru ingin membuka mulutnya untuk menanyakan soal yang tidak ia ketahui. Namun... telepon ditangan Mama kembali berdering, dan segera diangkat oleh Mamanya. Meta kembali disuruh meninggalka Mamanya dengan sekali lambaian tangan. Papanya selalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja. Tak jauh beda dengan Mamanya, Papa Meta lebih sibuk dan tak mengeluarkan sepatah katapun ketika Meta bertanya. Jadi, lebih tepatnya Meta tak pernah berusaha untuk bertanya kepada Papanya repot-repot. “ Okay.. Okay.. My Supper Busy Dad!! “ teriak Meta sambil keluar dari ruangan pribadi Papanya. Sedangkan Kak Tika sudah memunyai rumah sendiri, dan tidak tinggal bersama Meta lagi dirumahnya. Sedangkan Mas Rangga juga sibuk dengan belajar dan jadwal bimbingan belajarnya setiap hari. Sebentar lagi dia akan menghadapi Ujian Nasional tingkat SMA. Yang membuat Meta sulit bertanya kepada Kakaknya itu karena Mas Rangga sendiri sering pulang larut malam.
“ Aaah... gimana sih caranya hitung ini?!” gumam Meta sambil membiarkan buku latihannya menutupi wajahnya yang sudah kusut minta ampun. Ia rebah di tempat tidurnya dengan pasrah karena tak ada yang bisa diharapkan dirumah ini. Sekiranya begitulah yang sedang Meta pikirkan. Ia masih bertanya-tanya bagaimana cara memecahkan soal nomer 3 di buku latihannya yang sebenarnya menjadi pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan besok pagi. “ Besok pagi sajalah. Tanya Tania aja. Hoam... aduh.. ngantuk banget. Tidur aja deh.” Ujarnya sambil memasukkan buku-buku kedalam tas sesuai jadwal.
Esoknya, seperti biasa Meta diantar Mas Rangga ke sekolah dan segera bergegas ke kelasnya untuk menanyakan Soal yang kemarin pada temannya. Untungnya Tania, sahabatnya itu mau menerangkan dengan jelas soal yang tidak ia mengerti. “ Aduh.. makasih ya Tan.” Ujar Meta berterimakasih. “ Iya Met, sama-sama. Yuk duduk, bentar lagi Bu Kirana masuk.” Jawab Tania, mereka berduapun duduk dibangku masing-masing. Benar saja. Tak lama kemudian, guru Fisika mereka, Bu Kirana masuk kekelas. Pelajaranpun dimulai.
“ Anak-anak ini ada surat undangan untuk orangtua, dan usahakan salah satu dari mereka datang ya.” Pesan Bu Rosa yang baru saja masuk sambil membagi satu persatu surat kepada semua anak. “memangnya kenapa harus datang Bu?” tanya Meta sambil mengacungkan tangannya. “ Undangan ini, menyangkut konsultasi, dan penyampaian hasil belajar kepada orang tua kalian. Ada apa? Apa orangtua kamu tak bisa datang?” jawab Bu Rosa sekaligus bertanya.” Oh, tidak bu. Mungkin mereka bisa datang.” Jawab Meta sambil menunduk ke bawah Meta jelas berpikir, bagaimana bisa orangtuanya yang super sibuk itu mau datang ke acara yang bisa dikesampingkan seperti ini. “ Baiklah. Pokoknya, usahakan mereka bisa datang ya. “ pesan Bu Rosa mempertegas lagi sebelum kemudian pergi untuk memberikan surat ke kelas yang lain. Dia juga menundukkan kepala ke Bu Kirana, tanda berterimakasih karena telah mengizinkan dirinya untuk memotong pelajaran.
“ Met. Kenapa sih kamu? Kamu pasti masih mikirin undangan yang tadi ya?” tanya Tania kepada Meta yang masih duduk melamun dibangkunya. “ iya nih Tan. Aku yakin Papa sama Mama pasti nggak bisa dateng deh.” Tutur Meta dengan murung. “ Bukannya kalau nggak dateng itu.. nggak apa-apa?” ujar Tania mencoba menenangkan. “ Apanya yang nggak papa sih Tan?” ujar Meta tambah putus asa. “ Acara ini hanya konsultasi orangtua dan pemberitahuan hasil belajar siswa. Dan aku yakin hasil belajar kamu udah baik, malah yang terbaik. Jadi.. kalau orangtua kamu nggak dateng.. nggak akan ada masalah.” Kata Tania berharap ia dapat menghibur hati sahabatnya itu. “ Tapi.. rasanya aku tuh udah.. nggak penting lagi Tan. Aku ini kalah sama pekerjaan Papa-Mama ku yang aku sendiri nggak mau tahu.” Keluh Meta yang tetap masih murung. “ Eh.. kamu nggak boleh gitu Met.. apapun pekerjaannya, itulah yang membuatmu bisa sampai seperti ini. Apalagi aku yakin pekerjaan orangtua kamu itu sangatlah bagus dan sangat sulit.” Tania menanggapi. “ Iya sih Tan. Tapi, kalau sampai sesibuk ini, aku juga nggak mau. Mending miskin tapi tenteram dan di sayang deh!” keluh Meta lagi. “ Ah.. jangan gitu Met. Nanti kesampaian nyesel lho.” Lagi-lagi Tania menanggapi dengan bijaksana. “ Ya udah Met. Yang penting, nanti kamu kasihin undangan itu, dan kamu bilangin pesan Bu Rosa tadi. Kalau masalah datang enggaknya.. biarin orangtua kamu aja yang mutusin.” Kini Tania mencoba menyarankan. “ Tapi.. kalau Mama-Papa nggak datang buat pertemuan kali ini, aku nggak akan mau bicara lagi sama mereka.” Kata Meta setengah berteriak dengan berang. “ Jangan begitu ah. Nggak boleh Met.”  Tania masih mencoba menasihati sahabatnya, namun Meta selalu tak pernah mau mendengarkannya.
Orangtua Meta, memang bisa dikatakan tak pernah menghadiri segala rupa bentuk undangan dari sekolah manapun. Tapi mungkin yang mempermasalahkan hal ini hanya Meta saja. Mas Rangga yang nasibnya sama dengan Meta tak pernah menganggap hal ini sebagai masalah besar. Meta selalu iri dengan teman-temannya yang mendapat perhatian Orangtua mereka masing-masing. “ Eh Met. kamu mau kerumahku nggak?” tanya Tania setelah bel pulang berbunyi. “ hmm.. iya deh. Aku bosen dirumah, nanti sekalian ajari aku fisika ya Tan. “ Jawab Meta sambil membereskan mejanya, bersiap untuk pulang. “ iya.. pasti. kebetulan Ibuku tadi bilang, mau bikin kue. Nanti cobain ya..” kata Tania yang juga sedang memasukkan buku tulis berwarna hijau muda kedalam tasnya. “ Waah.. asik tuh. Langsung pulang ya.” Ajak Meta yang sudah selesai membereskan barangnya lebih dahulu dibanding Tania. Tania mengangguk. Kelas ditutup, Lala memimpin do’a pulang, dan semua siswa memberi hormat kepada Pak Kusuma yang mengajar mata pelajaran terakhir untuk hari ini. Tania, dan Meta berjalan menuju rumah Tania yang tak jauh dari sekolah.
“ Selamat Siang Tante.” Sapa Meta sambil mencium tangan Ibunya Tania. “ Eh.. Meta. Ayo masuk,Tante sudah bikinkan kue enak. Kamu coba ya Meta.” Ajak Ibunya Tania sambil masuk terlebih dahulu. “ Iya Tante terimakasih.” Meta berbasa-basi terlebih dahulu sambil masuk mengikuti tania dan Ibunya masuk. “aah... beruntungnya kamu Tan..Ibumu perhatian sekali. Sepulang sekolah saja langsung disambut gini. Aku? Paling Cuma Bi Inah yang sempet nanya-nanyain. Sedangkan Mama selalu asyik dengan teleponnya. Kemarinpun aku nggak makan malem, dan Mama nggak nanya sama sekali paginya. Jangan-jangan Mama malah nggak tahu kalau kemarin aku nggak makan?! “ Ujar Meta dalam hati. Ia iri melihat perhatian Ibu Tania tadi. “ Ayo Met dimakan. “ Ujar Tania. “ Iya Tan. Wah maaf ya merepotkan.” Jawab Meta. Tania tersenyum dan juga ikut makan kue buatan Ibunya.
“ Tania. Ibu kamu baik banget ya? Dia.. mau bikinin kue juga. Kalo mama aku...mana mau dia..” kata-kata Meta terpotong. “ Eeh Met.. jangan dibanding-bandingin dong. Ibu aku bukan wanita karier, dia santai dirumah. Nggak ada kerjaan, jadi ya sempet kalau Cuma masak kue. Sedangkan Mama kamu.. aku tahu. Beliau betul-betul sibuk Met. Jadi emang nggak bisa dibandingin.” Tania kembali menasihati Meta yang nampak mulai iri lagi. “ Iya sih. Tapi kan seenggaknya Mama mau masakin aku Tan.” Ujar Meta lagi. Tania hanya tersenyum. Ia tahu jika dia membahasnya, akan muncul lebih banyak lagi keluhan-keluhan Meta. Memang hanya Tania yang dipercaya Meta untuk bercerita tentang hal yang paling penting sekalipun. Hari itu menjadi hari yang cukup menyenangkan sekaligus sedikit menyakitkan untuk Meta. Meta pulang dijemput Mas Rangga yang baru pulang dari Bimbel dan langsung menjemputnya.
“ Mas.. “ suara Meta saking kecilnya terdengar seperti rengekan. “ ya?” tanya Mas Rangga yang sibuk mengendalikan kemudinya. “ emm.. apa Papa Mama dari dulu sibuk gini? “ tampaknya suara Meta telah kembali. “ ya sebenarnya.. dulu Mama nggak begitu sibuk. Tapi, karena sekarang Bank-nya sudah lebih terkenal, jadi pekerjaan Mama tentu bertambah. Memang kenapa Met?” Jelas Mas Rangga sambil sesekali menengok ke Meta. “ Apa.. mas pikir.. kalau lusa ada pertemuan, Papa sama Mama yang supper dupper sibuk itu mau dateng ke sekolah?” Tanya Meta lagi meminta pendapat Kakaknya. “ Mungkin kok Met.. Mama sama Papa pasti berusaha untuk meluangkan waktu,da bukan nggak mungkin Mama lebih mengesampingkan pekerjaannya yang begitu rumit dengan undangan tadi. “ Jawaban Mas Rangga tampaknya sedikit melegakan hati Meta, ia tersenyum mendengar jawaban kakaknya itu.
“ Ma... ada undangan buat lusa, dateng ya.. kata Bu Rosa harus datang. “ tuntutku langsung saat masuk rumah sambil melambai-lambaikan kertas undangan tadi. Meta sangat riang kali ini. Untuk pertama kalinya, dia optimis Orangtuanya akan datang kali ini. “ Harus datang? Acara apa?” tanya Mama yang tumben peduli. “ Iya Ma. Baca aja.” Senyum mengembang di wajah Meta. “ Waah.. tapi, Mama nggak bisa. Mungkin nanti Mama coba liat jadwal dulu ya. “  kelihatannya jawaban Mamanya Meta ini, membuat Meta kehilangan optimisnya. Seperti biasa, dia pergi dan membanting pintu kamarnya tanpa perasaan. Mama hanya mengangkat Bahu, meletakkan kertas undangan, dan kembali sibuk didepan komputer. Mas Rangga yang dari tadi menonton, merasa iba dengan adiknya itu. “ Mama kenapa sih?” ujar Mas Rangga saat melewati tempat Mama sedang bekerja.
“ Dek..? Mas Masuk ya. “  Mas Rangga mengetuk pintu kamar Meta dengan pelan. “ ya.” Jawab Meta singkat. “ ada apa Mas?” tanya Meta langsung begitu kakaknya sudah duduk di sampingnya. “Maafin Mas ya Met. Mas udah bikin kamu terlalu berharap. Seharusnya Mas tadi nggak bilang kalau Mama akan meluangkan waktunya.” Ujar Mas Rangga dengan tatapan merasa bersalah. “ Iya Mas.. nggak apa-apa kok. Justru aku yang terlalu berharap.” Meta menenangkan Kakaknya. “ Besok, Mas aka ajak kamu sepulang sekolah ke tempat yang belum pernah kau temui dek. Nah sekarang tidur ya..” pesan Mas Rangga yang setelah itu langsung keluar dari kamar Meta.
Meta masih tak mau bicar paginya dengan Mama ataupun Papanya. Ia diantar ke sekolah oleh Mas Rangga seperti biasa. “ Inget lho Met, nanti Mas jemput kamu. “ kata Mas Rangga saat Meta turun dari mobil. “ iya. Iya.. “ Meta berlari masuk dan menemui Tania, serta menceritakan semua tanggapan Mamanya kemarin. Seperti biasa, Tania menasihati Meta dengan Bijaksana dan sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati Meta. “ Waah.. nggak nyangka Met Mas kamu baik juga. “ Tania menanggapi. “ Iya. Aku sendiri juga nggak nyangka kok Tan. “ ujar Meta lagi menceritakan Mas Rangga yang ternyata baik sekali hatinya. Meta memang cukup terhibur dengan kata-kata kaknya kemarin. Hari   ini, dia tersenyum sampai mata pelajaran terakhir selesai.
‘ Tin..’ klakson Mobil Mas Rangga sudah berbunyi nyaring didepan gerbang, Meta berlari menghampirinya. “ Kemana Mas? “ tanya Meta setelah menutup pintu dan menyamankan posisi duduknya. “ Iya. Sabar, nanti juga sampe.” Jawab Mas Rangga santai. Beberapa saat kemudian, mobil yang semula melaju kencang, berjalan memelan... dan semakin pelan. Mobil itu berbelok ke gang sempit nan kumuh dikiri jalan. akhirnya mobil itupun berhenti. Berhenti didepan bangunan yang cukup besar, namun rapuh dan berlumut. Meta tak berani bertanya apa-apa mengenai tempat itu. Mas Rangga kemudian mengajak Meta turun. Meta benar-benar tak habis pikir kenapa kakaknya itu mengajaknya ketempat semacam ini.
Mas Rangga rupanya hanya mau menunjukkan anak-anak yang sedang bermain bola, kelereng, dan lompat tali di halaman bangunan tadi. “ Met.. pandang mereka!, adakah raut sedih diwajahnya?” tanya Mas Rangga sambil tersenyum. “ nggak lah Mas. Mereka itu sedang bermain dan tentu tak sedih.” Jawab Meta polos. “ Met.. mereka semua.. sudah tak mempunyai orang tua.” Jelas Mas Rangga. “Appa! Jadi tempat ini.. Panti Asuhan?” sahut Meta dengan raut wajah kaget. “ iya. Kamu pikir apa? Taman bermain?, mereka sudah tak punya orang tua. “ ujar Mas Rangga mengulangi kalimat yang tadi. “ Lalu?” tanya Meta tanpa berpikir. “ Mereka tak pernah bersedih. Mereka selalu bersyukur. Mensyukuri apa yang ada, dan belajar untuk ikhlas. “ Iya.” Meta menanggapi dengan singkat. “ Oleh karena itu, Met.. kamu harus bersyukur, karena kamu lebih beruntung daripada mereka. Setidaknya kamu masih punya orangtua yang mau membiayaimu bersekolah.” Mas Rangga menasihati Meta. Benar sekali, apapun yang ada memang harus kita syukuri. “ Meta... akan bersyukur Mas. Masih punya Mama dan Papa. Walaupun mereka.. seperti nggak peduli sama Meta. “ ujar Meta “ Mereka peduli Met.” Mas Rangga meyakinkan. “ mulai sekarang, kamu nggak boleh mengeluh, apalagi durhaka membanting pintu keras-keras seperti kemarin. “ Nasihatnya lagi. “ iya Mas. Meta ngerti... Meta Janji nggak akan ngulangi lagi.” Kata Meta Menyesali sikapnya selama ini. Mas Rangga telah membuka hati Meta, Meta telah berjanji tidak akan mengulangi sikapnya yang kurang baik itu. Dia juga tidak akan terlalu memaksa orangtuanya untuk menghadiri undangan kemarin.
“ yuk kita pulang Met.” Ajak Mas Rangga. Meta dan Mas Rangga pulang kerumah. Sampai dirumah, Meta langsung menghampiri Mamanya. “ Ma.. kalau Mama nggak bisa datang juga nggak papa. Terserah Mama aja.” Kata Meta penuh harap Mamanya mendengarnya. “ Oh.. Iya. Besok Mama datang kok Met, kamu tidur aja dah malem sana. “ Jawab Mamanya. Meta senang sekali ... dia berlari ke kamarnya tidak seperti biasa. Meta sudah belajar untuk Ikhlas dan mensyukuri apapun yang ada, dan memegang janjinya dengan sungguh-sungguh. Mas Rangga tersenyum melihat ini. Meta sadar, Mamanya memang seperti itu, dan tak dapat dipaksa untuk berubah. Hari-hari Meta menjadi lebih ceria setelah ia mengetahui makna syukur dalam hidupnya. Walaupun memang kedua orangtuanya tak berubah sama sekali. Terimakasih Mas..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar