Terimakasih Mas..
Oleh : Ayuta Puspa Citra Zuama
“ Sebaiknya
kamu belajar saja, dan jangan ganggu Mama dulu ya.” Kalimat ini selalu berhasil
membuat telinga Meta menjadi merah panas. Ia selalu menggerutu, masuk kamar dan
membanting pintu ketika mendengar kalimat tadi. “ Kenapa sih Mama. Setiap aku
ingin bertanya, selalu saja... tak boleh. Inilah, itulah, janganlah, belajar
saja sana. Benar-benar menyebalkan. Apa dulu Kak Tika dan Mas Rangga juga
mendengar hal yang sama? Juga mengalami hal yang sama sepertiku? “ gumam Meta
yang sangat gusar mendengar kalimat tadi. Meta adalah anak bungsu dari tiga
bersaudara, usianya cukup terpaut jauh dengan kedua Kakaknya. Kakak pertamanya,
bernama Tika. Sekarang Kak Tika sudah bekerja menjadi pegawai sebuah Bank
swasta yang cukup terkenal. Sedangkan Kakak keduanya, namanya Rangga. Seorang
kakak laki-laki yang sedang duduk dibangku kelas tiga SMA. Meta sendiri masih
duduk di kelas dua SMP.
Meta lahir
dikeluarga yang cukup berada. Namun, dia malah sering mengeluhkan hal ini. “Ah
daripada dicuekin gini. Mending Mama nggak usah kerja aja. Bukannya cukup ya?
Kalau Papa aja yang kerja?” begitu keluhnya kepada Mama yang tak kunjung
menoleh untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Meta. Dia semakin kesal ketika
mengetahui Mamanya yang tak memperhatikannya sedikitpun. Mamanya selalu
merespon keluhannya itu dengan kata-kata yang hampir sama, “ Oh.. ya Meta. Ada
apa? Maaf, baru saja rekan kerja Mama telpon.” Begitu mendengar ini, Meta masih
sedikit bersabar, dan baru ingin membuka mulutnya untuk menanyakan soal yang
tidak ia ketahui. Namun... telepon ditangan Mama kembali berdering, dan segera
diangkat oleh Mamanya. Meta kembali disuruh meninggalka Mamanya dengan sekali
lambaian tangan. Papanya selalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam ruang kerja.
Tak jauh beda dengan Mamanya, Papa Meta lebih sibuk dan tak mengeluarkan
sepatah katapun ketika Meta bertanya. Jadi, lebih tepatnya Meta tak pernah
berusaha untuk bertanya kepada Papanya repot-repot. “ Okay.. Okay.. My Supper
Busy Dad!! “ teriak Meta sambil keluar dari ruangan pribadi Papanya. Sedangkan
Kak Tika sudah memunyai rumah sendiri, dan tidak tinggal bersama Meta lagi
dirumahnya. Sedangkan Mas Rangga juga sibuk dengan belajar dan jadwal bimbingan
belajarnya setiap hari. Sebentar lagi dia akan menghadapi Ujian Nasional
tingkat SMA. Yang membuat Meta sulit bertanya kepada Kakaknya itu karena Mas
Rangga sendiri sering pulang larut malam.
“ Aaah...
gimana sih caranya hitung ini?!” gumam Meta sambil membiarkan buku latihannya
menutupi wajahnya yang sudah kusut minta ampun. Ia rebah di tempat tidurnya
dengan pasrah karena tak ada yang bisa diharapkan dirumah ini. Sekiranya
begitulah yang sedang Meta pikirkan. Ia masih bertanya-tanya bagaimana cara
memecahkan soal nomer 3 di buku latihannya yang sebenarnya menjadi pekerjaan
rumah yang akan dikumpulkan besok pagi. “ Besok pagi sajalah. Tanya Tania aja. Hoam... aduh.. ngantuk banget. Tidur aja
deh.” Ujarnya sambil memasukkan buku-buku kedalam tas sesuai jadwal.
Esoknya,
seperti biasa Meta diantar Mas Rangga ke sekolah dan segera bergegas ke
kelasnya untuk menanyakan Soal yang kemarin pada temannya. Untungnya Tania,
sahabatnya itu mau menerangkan dengan jelas soal yang tidak ia mengerti. “
Aduh.. makasih ya Tan.” Ujar Meta berterimakasih. “ Iya Met, sama-sama. Yuk
duduk, bentar lagi Bu Kirana masuk.” Jawab Tania, mereka berduapun duduk
dibangku masing-masing. Benar saja. Tak lama kemudian, guru Fisika mereka, Bu
Kirana masuk kekelas. Pelajaranpun dimulai.
“ Anak-anak
ini ada surat undangan untuk orangtua, dan usahakan salah satu dari mereka
datang ya.” Pesan Bu Rosa yang baru saja masuk sambil membagi satu persatu
surat kepada semua anak. “memangnya kenapa harus datang Bu?” tanya Meta sambil
mengacungkan tangannya. “ Undangan ini, menyangkut konsultasi, dan penyampaian
hasil belajar kepada orang tua kalian. Ada apa? Apa orangtua kamu tak bisa
datang?” jawab Bu Rosa sekaligus bertanya.” Oh, tidak bu. Mungkin mereka bisa
datang.” Jawab Meta sambil menunduk ke bawah Meta jelas berpikir, bagaimana
bisa orangtuanya yang super sibuk itu mau datang ke acara yang bisa
dikesampingkan seperti ini. “ Baiklah. Pokoknya, usahakan mereka bisa datang
ya. “ pesan Bu Rosa mempertegas lagi sebelum kemudian pergi untuk memberikan
surat ke kelas yang lain. Dia juga menundukkan kepala ke Bu Kirana, tanda
berterimakasih karena telah mengizinkan dirinya untuk memotong pelajaran.
“ Met. Kenapa
sih kamu? Kamu pasti masih mikirin undangan yang tadi ya?” tanya Tania kepada
Meta yang masih duduk melamun dibangkunya. “ iya nih Tan. Aku yakin Papa sama
Mama pasti nggak bisa dateng deh.” Tutur Meta dengan murung. “ Bukannya kalau
nggak dateng itu.. nggak apa-apa?” ujar Tania mencoba menenangkan. “ Apanya
yang nggak papa sih Tan?” ujar Meta tambah putus asa. “ Acara ini hanya konsultasi
orangtua dan pemberitahuan hasil belajar siswa. Dan aku yakin hasil belajar
kamu udah baik, malah yang terbaik. Jadi.. kalau orangtua kamu nggak dateng..
nggak akan ada masalah.” Kata Tania berharap ia dapat menghibur hati sahabatnya
itu. “ Tapi.. rasanya aku tuh udah.. nggak penting lagi Tan. Aku ini kalah sama
pekerjaan Papa-Mama ku yang aku sendiri nggak mau tahu.” Keluh Meta yang tetap
masih murung. “ Eh.. kamu nggak boleh gitu Met.. apapun pekerjaannya, itulah
yang membuatmu bisa sampai seperti ini. Apalagi aku yakin pekerjaan orangtua
kamu itu sangatlah bagus dan sangat sulit.” Tania menanggapi. “ Iya sih Tan.
Tapi, kalau sampai sesibuk ini, aku juga nggak mau. Mending miskin tapi
tenteram dan di sayang deh!” keluh Meta lagi. “ Ah.. jangan gitu Met. Nanti
kesampaian nyesel lho.” Lagi-lagi Tania menanggapi dengan bijaksana. “ Ya udah
Met. Yang penting, nanti kamu kasihin undangan itu, dan kamu bilangin pesan Bu
Rosa tadi. Kalau masalah datang enggaknya.. biarin orangtua kamu aja yang
mutusin.” Kini Tania mencoba menyarankan. “ Tapi.. kalau Mama-Papa nggak datang
buat pertemuan kali ini, aku nggak akan mau bicara lagi sama mereka.” Kata Meta
setengah berteriak dengan berang. “ Jangan begitu ah. Nggak boleh Met.” Tania masih mencoba menasihati sahabatnya,
namun Meta selalu tak pernah mau mendengarkannya.
Orangtua Meta,
memang bisa dikatakan tak pernah menghadiri segala rupa bentuk undangan dari
sekolah manapun. Tapi mungkin yang mempermasalahkan hal ini hanya Meta saja.
Mas Rangga yang nasibnya sama dengan Meta tak pernah menganggap hal ini sebagai
masalah besar. Meta selalu iri dengan teman-temannya yang mendapat perhatian
Orangtua mereka masing-masing. “ Eh Met. kamu mau kerumahku nggak?” tanya Tania
setelah bel pulang berbunyi. “ hmm.. iya deh. Aku bosen dirumah, nanti sekalian
ajari aku fisika ya Tan. “ Jawab Meta sambil membereskan mejanya, bersiap untuk
pulang. “ iya.. pasti. kebetulan Ibuku tadi bilang, mau bikin kue. Nanti cobain
ya..” kata Tania yang juga sedang memasukkan buku tulis berwarna hijau muda
kedalam tasnya. “ Waah.. asik tuh. Langsung pulang ya.” Ajak Meta yang sudah
selesai membereskan barangnya lebih dahulu dibanding Tania. Tania mengangguk.
Kelas ditutup, Lala memimpin do’a pulang, dan semua siswa memberi hormat kepada
Pak Kusuma yang mengajar mata pelajaran terakhir untuk hari ini. Tania, dan
Meta berjalan menuju rumah Tania yang tak jauh dari sekolah.
“ Selamat
Siang Tante.” Sapa Meta sambil mencium tangan Ibunya Tania. “ Eh.. Meta. Ayo
masuk,Tante sudah bikinkan kue enak. Kamu coba ya Meta.” Ajak Ibunya Tania
sambil masuk terlebih dahulu. “ Iya Tante terimakasih.” Meta berbasa-basi
terlebih dahulu sambil masuk mengikuti tania dan Ibunya masuk. “aah... beruntungnya kamu Tan..Ibumu
perhatian sekali. Sepulang sekolah saja langsung disambut gini. Aku? Paling
Cuma Bi Inah yang sempet nanya-nanyain. Sedangkan Mama selalu asyik dengan
teleponnya. Kemarinpun aku nggak makan malem, dan Mama nggak nanya sama sekali
paginya. Jangan-jangan Mama malah nggak tahu kalau kemarin aku nggak makan?! “ Ujar
Meta dalam hati. Ia iri melihat perhatian Ibu Tania tadi. “ Ayo Met dimakan. “
Ujar Tania. “ Iya Tan. Wah maaf ya merepotkan.” Jawab Meta. Tania tersenyum dan
juga ikut makan kue buatan Ibunya.
“ Tania. Ibu
kamu baik banget ya? Dia.. mau bikinin kue juga. Kalo mama aku...mana mau
dia..” kata-kata Meta terpotong. “ Eeh Met.. jangan dibanding-bandingin dong.
Ibu aku bukan wanita karier, dia santai dirumah. Nggak ada kerjaan, jadi ya
sempet kalau Cuma masak kue. Sedangkan Mama kamu.. aku tahu. Beliau betul-betul
sibuk Met. Jadi emang nggak bisa dibandingin.” Tania kembali menasihati Meta
yang nampak mulai iri lagi. “ Iya sih. Tapi kan seenggaknya Mama mau masakin
aku Tan.” Ujar Meta lagi. Tania hanya tersenyum. Ia tahu jika dia membahasnya,
akan muncul lebih banyak lagi keluhan-keluhan Meta. Memang hanya Tania yang
dipercaya Meta untuk bercerita tentang hal yang paling penting sekalipun. Hari
itu menjadi hari yang cukup menyenangkan sekaligus sedikit menyakitkan untuk
Meta. Meta pulang dijemput Mas Rangga yang baru pulang dari Bimbel dan langsung
menjemputnya.
“ Mas.. “
suara Meta saking kecilnya terdengar seperti rengekan. “ ya?” tanya Mas Rangga
yang sibuk mengendalikan kemudinya. “ emm.. apa Papa Mama dari dulu sibuk gini?
“ tampaknya suara Meta telah kembali. “ ya sebenarnya.. dulu Mama nggak begitu
sibuk. Tapi, karena sekarang Bank-nya sudah lebih terkenal, jadi pekerjaan Mama
tentu bertambah. Memang kenapa Met?” Jelas Mas Rangga sambil sesekali menengok
ke Meta. “ Apa.. mas pikir.. kalau lusa ada pertemuan, Papa sama Mama yang
supper dupper sibuk itu mau dateng ke sekolah?” Tanya Meta lagi meminta
pendapat Kakaknya. “ Mungkin kok Met.. Mama sama Papa pasti berusaha untuk
meluangkan waktu,da bukan nggak mungkin Mama lebih mengesampingkan pekerjaannya
yang begitu rumit dengan undangan tadi. “ Jawaban Mas Rangga tampaknya sedikit
melegakan hati Meta, ia tersenyum mendengar jawaban kakaknya itu.
“ Ma... ada
undangan buat lusa, dateng ya.. kata Bu Rosa harus datang. “ tuntutku langsung
saat masuk rumah sambil melambai-lambaikan kertas undangan tadi. Meta sangat
riang kali ini. Untuk pertama kalinya, dia optimis Orangtuanya akan datang kali
ini. “ Harus datang? Acara apa?” tanya Mama yang tumben peduli. “ Iya Ma. Baca
aja.” Senyum mengembang di wajah Meta. “ Waah.. tapi, Mama nggak bisa. Mungkin
nanti Mama coba liat jadwal dulu ya. “
kelihatannya jawaban Mamanya Meta ini, membuat Meta kehilangan
optimisnya. Seperti biasa, dia pergi dan membanting pintu kamarnya tanpa
perasaan. Mama hanya mengangkat Bahu, meletakkan kertas undangan, dan kembali sibuk
didepan komputer. Mas Rangga yang dari tadi menonton, merasa iba dengan adiknya
itu. “ Mama kenapa sih?” ujar Mas Rangga saat melewati tempat Mama sedang
bekerja.
“ Dek..? Mas
Masuk ya. “ Mas Rangga mengetuk pintu
kamar Meta dengan pelan. “ ya.” Jawab Meta singkat. “ ada apa Mas?” tanya Meta
langsung begitu kakaknya sudah duduk di sampingnya. “Maafin Mas ya Met. Mas
udah bikin kamu terlalu berharap. Seharusnya Mas tadi nggak bilang kalau Mama
akan meluangkan waktunya.” Ujar Mas Rangga dengan tatapan merasa bersalah. “
Iya Mas.. nggak apa-apa kok. Justru aku yang terlalu berharap.” Meta
menenangkan Kakaknya. “ Besok, Mas aka ajak kamu sepulang sekolah ke tempat
yang belum pernah kau temui dek. Nah sekarang tidur ya..” pesan Mas Rangga yang
setelah itu langsung keluar dari kamar Meta.
Meta masih tak
mau bicar paginya dengan Mama ataupun Papanya. Ia diantar ke sekolah oleh Mas
Rangga seperti biasa. “ Inget lho Met, nanti Mas jemput kamu. “ kata Mas Rangga
saat Meta turun dari mobil. “ iya. Iya.. “ Meta berlari masuk dan menemui
Tania, serta menceritakan semua tanggapan Mamanya kemarin. Seperti biasa, Tania
menasihati Meta dengan Bijaksana dan sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati
Meta. “ Waah.. nggak nyangka Met Mas kamu baik juga. “ Tania menanggapi. “ Iya.
Aku sendiri juga nggak nyangka kok Tan. “ ujar Meta lagi menceritakan Mas
Rangga yang ternyata baik sekali hatinya. Meta memang cukup terhibur dengan
kata-kata kaknya kemarin. Hari ini, dia
tersenyum sampai mata pelajaran terakhir selesai.
‘ Tin..’
klakson Mobil Mas Rangga sudah berbunyi nyaring didepan gerbang, Meta berlari
menghampirinya. “ Kemana Mas? “ tanya Meta setelah menutup pintu dan
menyamankan posisi duduknya. “ Iya. Sabar, nanti juga sampe.” Jawab Mas Rangga
santai. Beberapa saat kemudian, mobil yang semula melaju kencang, berjalan
memelan... dan semakin pelan. Mobil itu berbelok ke gang sempit nan kumuh
dikiri jalan. akhirnya mobil itupun berhenti. Berhenti didepan bangunan yang
cukup besar, namun rapuh dan berlumut. Meta tak berani bertanya apa-apa
mengenai tempat itu. Mas Rangga kemudian mengajak Meta turun. Meta benar-benar
tak habis pikir kenapa kakaknya itu mengajaknya ketempat semacam ini.
Mas Rangga
rupanya hanya mau menunjukkan anak-anak yang sedang bermain bola, kelereng, dan
lompat tali di halaman bangunan tadi. “ Met.. pandang mereka!, adakah raut
sedih diwajahnya?” tanya Mas Rangga sambil tersenyum. “ nggak lah Mas. Mereka
itu sedang bermain dan tentu tak sedih.” Jawab Meta polos. “ Met.. mereka
semua.. sudah tak mempunyai orang tua.” Jelas Mas Rangga. “Appa! Jadi tempat
ini.. Panti Asuhan?” sahut Meta dengan raut wajah kaget. “ iya. Kamu pikir apa?
Taman bermain?, mereka sudah tak punya orang tua. “ ujar Mas Rangga mengulangi
kalimat yang tadi. “ Lalu?” tanya Meta tanpa berpikir. “ Mereka tak pernah
bersedih. Mereka selalu bersyukur. Mensyukuri apa yang ada, dan belajar untuk
ikhlas. “ Iya.” Meta menanggapi dengan singkat. “ Oleh karena itu, Met.. kamu
harus bersyukur, karena kamu lebih beruntung daripada mereka. Setidaknya kamu
masih punya orangtua yang mau membiayaimu bersekolah.” Mas Rangga menasihati
Meta. Benar sekali, apapun yang ada memang harus kita syukuri. “ Meta... akan
bersyukur Mas. Masih punya Mama dan Papa. Walaupun mereka.. seperti nggak
peduli sama Meta. “ ujar Meta “ Mereka peduli Met.” Mas Rangga meyakinkan. “
mulai sekarang, kamu nggak boleh mengeluh, apalagi durhaka membanting pintu
keras-keras seperti kemarin. “ Nasihatnya lagi. “ iya Mas. Meta ngerti... Meta
Janji nggak akan ngulangi lagi.” Kata Meta Menyesali sikapnya selama ini. Mas
Rangga telah membuka hati Meta, Meta telah berjanji tidak akan mengulangi
sikapnya yang kurang baik itu. Dia juga tidak akan terlalu memaksa orangtuanya
untuk menghadiri undangan kemarin.
“ yuk kita
pulang Met.” Ajak Mas Rangga. Meta dan Mas Rangga pulang kerumah. Sampai
dirumah, Meta langsung menghampiri Mamanya. “ Ma.. kalau Mama nggak bisa datang
juga nggak papa. Terserah Mama aja.” Kata Meta penuh harap Mamanya
mendengarnya. “ Oh.. Iya. Besok Mama datang kok Met, kamu tidur aja dah malem
sana. “ Jawab Mamanya. Meta senang sekali ... dia berlari ke kamarnya tidak
seperti biasa. Meta sudah belajar untuk Ikhlas dan mensyukuri apapun yang ada,
dan memegang janjinya dengan sungguh-sungguh. Mas Rangga tersenyum melihat ini.
Meta sadar, Mamanya memang seperti itu, dan tak dapat dipaksa untuk berubah.
Hari-hari Meta menjadi lebih ceria setelah ia mengetahui makna syukur dalam
hidupnya. Walaupun memang kedua orangtuanya tak berubah sama sekali.
Terimakasih Mas..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar